0 Comment
Pada umumnya seseorang atau kelompok dalam memberikan nama kepada suatu obyek, apakah itu manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, tempat atau obyek lainnya, biasanya selalu mempunyai arti atau kenangan/kesan tertentu. Pemberian nama tersebut dapat saja berupa kenangan atau kesan masa lalu, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (kepahitan/penderitaan). Atau juga berkaitan dengan harapan masa yang akan datang, maupun berkaitan dengan komunikasi biogenetics. Pemberian nama ini didasarkan pada aetiologis dan saga. Aetiologis (dalam bahasa Yunani artinya keterangan atau sebab), yang ceritanya tidak hanya menerangkan asal-usul, tetapi juga menerangkan hal lain, sedangkan saga adalah cerita turun temurun yang berisi tentang perjalanan individu/kelompok, dan juga norma-norma yang berlaku terhadap individu/kelompok bersangkutan.


Secara etimologis (sejarah asal-usul kata), Langowan berasal dari kata rangow (bahasa Tountemboan) yang berarti lobang. Rangowan (berlobang) dalam hal ini bukan pada gunung, tanah, atau bench lainnya, tapi maksudnya berlobang pada bagian pokok kayu. Konon kayu yang berlobang itu, terletak di tengah pusat kota seperti sekarang ini, yaitu tepat di Gereja GMIM Sentrum (Jemaat Schwarz) sekarang.


Di Langowan pada masa itu memang banyak ditumbuhi pepohonan dan tanaman lainya. Di antaranya pohon we'tes (pohon beringin). Di batang pohon inilah terdapat lobang tersebut. Dan di pohon ini pulalah menjadi pusat penyembahan orang-orang Langowan kepada dewa-dewa (opo-opo), termasuk juga kepada Amang Kasuruan atau si Apo Wanandangka. Dan karena pohon ini dianggap keramat, maka ditempat ini pula dibuat tempat pasoringan.

Pasoringan berasal dari kata soringan yaitu alat bunyi yang dibuat dari sebilah bambu (wulut), semacam pipa yang diberi 7 lobang. Apabila dihembuskan angin atau ditiup akan mengeluarkan bunyi. Bunyi tersebut analog dengan bunyi burung Wala'. Jadi Pasoringan berarti tempat memanggil/mendengarkan bunyi burung Wala' oleh para Walian dan Tonaas. Walian adalah para pemimpin agama (Alifur/ agama suku Minahasa). Sedang para Tonaas adalah pemimpin pemerintahan, pertanian, keamanan dan lainnya. Di tempat pasoringan inilah para pemimpin tersebut di atas bertanya dan mendengarkan jawaban, ya atau tidak tentang sesuatu maksud yang ditanyakan. Atau untuk mengetahui apakah yang akan terjadi di hari-hari selanjutnya. Bunyi burung Wala' ini diartikan/diterjemahkan secara bersama-sama oleh Walian dan para Tonaas.
Pada pohon we'tes yang berlobang ini, selain tempat mendengarkan bunyi burung, juga sebagai tempat pareghesan (tempat membawa persembahan/ sesaji). Dengan pengertian, bahwa di tempat inilah mejadi pusat kegiatan keagamaan dan pemerintahan.


Caranya ialah para Walian bersama umat datang berkumpul untuk memuja para opo dan si Amang Kasuruan, dengan membawa sesajian/persembahan (raghesan). Sedangkan para Tonaas menggunakannya sebagai tempat pertemuan rakyat untuk mendengarkan perintah atau aturan yang harus dilaksanakan. Dan biasanya perintah itu dilakukan melalui palakat/pengumuman: ma umung asi we'tes rangow.


Orang yang bermaksud berkumpul untuk membawa persembahan dan memuja serta mendengarkan perintah, awalnya dari mereka bermukim di Mawale (kini bagian kiri dari Desa Tounelet), yang terletak di bagian selatan pohon tersebut. Jaraknya dari pohon we'tes rangowan itu kira-kira 600 depa.


Ketika para pendatang dari Eropa mulai menginjakkan kakinya di Langowan, merekapun mulai mendengar ucapan kata rangow tersebut. Dan oleh karena orang Eropa kurang mampu menyebut huruf "r" dengan jelas, maka sebutan rangow menjadi langow, dan juga rangowan, menjadi langowan. Lama kelamaan akhirnya tempat itu beserta penduduknya disebut dengan Langowan, sampai pada saat ini.


Namun sumber lain juga mengungkapkan bahwa kata langow berasal dari kata lagow yang artinya anoa. Karena konon di Langowan dulunya banyak binatang khas Sulawesi tersebut.


Pertengahan abad XVIII penduduk makin bertambah, maka terjadilah migrasi dari pemukiman Mawale ke utara dan ke timur, serta ke tempat lainnya. Maka mereka yang ke utara membentuk pemukiman baru, sehingga muncullah kampung Waleure, yang ke kampung Amongena dan Wolaang. Dan yang dari Waleure ada yang ke barat daya, menjadi kampung Koyawas. Zaman dimana penduduk pertama hidup di Langowan selanjutnya berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.


Kedatangan J.G. Schwarz di Langowan membawa perubahan yang besar, khususnya berkaitan dengan hidup keagamaan orang Langowan, dan orang Minahasa umumnya. Di Langowan khusunya, pusat penyembahan agama Alifuru (raghesan dan tempat bertanya pada burung), diubahnya menjadi pusat pelayanan Kristiani (Nasrani). Di tempat itulah Schwarz mendirikan gereja sebagai tempat peribadatan kepada Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus. Tempat peribadatan itu masih berdiri sampai sekarang, yaitu Gereja Sentrum (Jemaat Schwarz) langowan).

Dari majalah Duta Minahasa terbitan Okt/Nov 2003.

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Berkunjung di Amongena

 
Top