Perilaku para pejabat kolonial Belanda di
tanah jajahan aneka rupa. Ada yang baik, namun banyak pula yang jahat,
sewenang-wenang dan sok kuasa. Di Tanah Minahasa, ada banyak pula pejabat
demikian, seperti dipraktekkan Kontrolir Belang yang berkedudukan di Ratahan,
kini ibukota Kabupaten Minahasa Tenggara.
Kontrolir sendiri berasal dari kata
Controleur, adalah posisi pejabat kolonial yang bertugas mengontrol, mengawasi
dan memimpin sebuah Afdeeling. Di
Minahasa masa lalu, wilayah kekuasaan sebuah afdeeling terdiri beberapa
Distrik. Afdeeling Belang saat peristiwa ini terjadi, tinggal mencakup dua
distrik. Masing-masing: Distrik Tonsawang beribukotakan Tombatu, serta bekas
tiga distrik yang digabungkan satu, yakni Distrik Pasan-Ratahan dan Ponosakan,
beribukotakan Ratahan.
Kisah sang Kontrolir yang sekedar disamarkan
dengan nama Tuan Kontrolir X ini, terjadi di penghujung abad ke-19, di masa
berkuasanya Residen Manado Marinus Cornelis Emanuel Stakman, yang dibeslit
tanggal 22 Februari 1889.
Pelaksanaan praktek Herendienst (kerja rodi)
yang ekstra keras di masa pemerintahan Residen Stakman sangat dikecam oleh para
pejabat pribumi Minahasa, karena begitu menyengsarakan penduduk. Kecaman mana
muncul pula dari kalangan orang Belanda sendiri, sampai ribut di berbagai
media. Buntutnya, pemerintah tinggi di Batavia mengirim Komisaris W.O.Gallois
untuk mengusut, dan berpuncak dengan mundurnya Residen M.C.E.Stakman, serta
pengangkatan Eeltje Jelles Jellesma sebagai Residen Manado yang baru pada
tanggal 29 September 1892.
Kisah ini sendiri disadur dari tulisan yang
dimuat pada suratkabar De Locomotief,
nieuws-, handels-en advertentieblad, terbitan Semarang hari Kamis tanggal
16 Februari 1893 nomor 40. Penulisnya tidak dicatat namanya, bisa jadi
Hulpprediker N.Rinnooy yang bertugas di Ratahan selang 1887-1895, atau
koresponden dan atau redaktur De Locomotief sendiri, bahkan pendeta sebelumnya
Jan Nanes Wiersma (1862-1881). Pendeta Wiersma sangat banyak menulis tentang Ratahan
dan selalu membela kepentingan penduduk di Afdeeling Belang dari kesewenangan
penguasa Belanda dan pribumi. Yang pasti, tulisan di koran ini serangkaian
dengan keberatan serta petisi dari Hukum Besar Pasan-Ratahan-Ponosakan
Estephanus Sahelangi kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang dokumennya
kemudian dimuat sebagai hasil penelitian pemerintah Hindia-Belanda di Soerabaiaish-Handelsblad hari Sabtu 9
Juli 1892, edisi nomor 156.
Di masa itu, penduduk Pasan-Ratahan-Ponosakan
sangat menderita. Pekerjaan Herendienst membebani kaum pria yang harus membuat,
memelihara dan dan juga memperbaiki jalan, jembatan dan segala macam pekerjaan
demi kepentingan umum. Padahal, jalan-jalan di Afdeeling Belang sangat sulit, sempit dan
berliku-liku karena medannya yang berbukit-bukit dan
tidak rata. Penulis menggambarkan kondisi jalan saat itu. Ruas jalan
dari Ratahan ke Bentenan menurun sampai 1.000 kaki. Lalu jalan dari Ratahan ke Langowan yang hanya 6 paal, tapi mendaki setinggi 1.200 kaki.
Jalan tersebut telah dibuat dengan banyak sekali usaha pada tahun 1874, masa
Kontrolir George Alexander Wilken.
Sekarang, di tahun 1891.
Selang bulan Januari sampai Mei, selama enam
hari penuh, sebanyak 60 orang bekerja Herendienst tanpa henti. Akibat yang
ditimbulkan, tak ada makanan, sebab kebun terlantarkan. Kalau pun ada padi yang
belum dipetik, bulirnya telah habis dimakan tikus, karena penduduk tidak
memiliki waktu untuk menyiangi kebunnya lagi. Kalau pun ada penduduk yang
berhasil memetik, hasilnya terlalu sedikit. Penduduk Kampung Lisung, yang
berada pada jalan ke pantai di sebelah timur, bahkan tidak mendapatkan apa-apa
sama sekali. Tragisnya, bahkan tidak ada benih padi untuk ditanam tahun
berikutnya.
Lama-kelamaan penduduk merasa keberatan untuk
pergi bekerja Herendienst, karena mereka harus mencari makanan untuk kebutuhan
keluarga. Buat menangkal rasa lapar, mereka terpaksa memakan sagu, atau bahkan
melahap buah-buahan.
Beratnya pekerjaan Herendienst, serta ancaman
kelaparan yang dialami penduduknya, tidak tertahankan lagi. Estephanus
Sahelangi, yang telah memimpin Pasan-Ratahan-Ponosakan selama lebih sebelas
tahun sebagai Hukum Besar sangat prihatin dengan kondisi rakyatnya. Di bulan
Mei 1891 ia pergi ke Manado yang terletak sejauh 40 paal dari Ratahan, untuk menyampaikan langsung keluh-kesah dan
keberatan kepada Tuan Bangsawan Residen.
Residen M.C.E.Stakman kemudian berkunjung ke
Ratahan. Ia menyatakan aturan baru
Herendienst dihentikan, dan aturan lama berlaku kembali. Untuk mengatasi
kelaparan, mantan Asisten-Residen di Tapanuli Sumatera Utara ini memaksa
penduduk untuk menanam jagung. Penduduk melaksanakan perintahnya dengan menanam
jagung secara besar-besaran. Tapi, hasilnya sia-sia, karena masa itu sementara
berlangsung musim panas yang panjang. Penduduk semakin menderita. Beras sama
sekali tidak ada di daerah itu.
Simalakamanya, ketika kemudian penduduk bisa
menuai jagung bulan Maret 1892, pekerjaan tersebut justru mengorbankan waktu
panen padi di bulan Juni 1892.
Lalu, dikisahkan tentang Tuan Kontrolir X.
Ketika bertugas memimpin Afdeeling Belang berkedudukan di Ratahan, Tuan
Kontrolir X masih berstatus bujangan, tidak beristri. Ia digambarkan tidak
berperangai seperti orang Kristen yang baik, bahkan tidak sama sekali seperti
laiknya seorang Hollanders.
Setelah satu bulan di Ratahan, Tuan Kontrolir
X pergi ke Tombatu. Di ibukota Distrik Tonsawang ini ia tinggal selama beberapa
waktu. Ketika ia kembali dari Tombatu ke Ratahan, di jalan antara negeri
Mundung dan Kuyanga, masih di Distrik Tonsawang, ia bertemu dengan seorang
gadis bernama Bondy. Gadis tersebut belum genap berusia duapuluh tahun. Tuan Kontrolir X dan Petrus Momuat, putra
Hukum Besar Tonsawang Semuel Momuat mengejarnya, lalu membawanya ke
Mundung.
Sang gadis tentu saja tidak berani melawan
tuan besar yang berkuasa. Ibu Bondy segera ditemui, dan kepadanya dikatakan
bahwa Tuan Kontrolir ingin membawa anak gadisnya pergi ke Ratahan, dijadikan
sebagai nyai. Seperti sang anak, ibunya pun tidak berani
menolak, apalagi mengetahui tuan besar yang menginginkan anaknya itu adalah
Kontrolir, wakil Tuan Bangsawan Residen. Kepadanya, Tuan Kontrolir X memberi
uang sebesar 40 gulden, sebagai harga pembelian Bondy.
Maka, sejak itu Bondy tinggal di Ratahan,
menjadi simpanan Tuan Kontrolir X.
Ternyata, meski Tuan Kontrolir X telah
memiliki selir, ia tidak puas. Ia menyuruh Opas bernama Adrianus Kawenas untuk
mencari tambahan beberapa gadis lagi. Bujukannya adalah mereka akan dijadikan
sebagai anak asuh. Kawenas berhasil membujuk dua anak gadis dari negeri
Mundung, yakni Betje Kawenas dan Lina Borang. Lina adalah putri dari Jehieskiel
Borang, Kweekeling (guru bantu yang
belum lulus ujian guru) yang bekerja di Sekolah Gubernemen Mundung, negeri
masuk Distrik Tonsawang.
Anak gadis lainnya yang berhasil dibujuk
bernama Neeltje Kountur, berasal dari negeri Molompar, eks Distrik Ratahan.
Ternyata, mereka pergi ke rumah tinggal
Kontrolir X di Ratahan, tanpa sepengetahuan orangtuanya. Begitu juga dengan saudara Neeltje, yakni
Salmon Kountur. Ia kaget mengetahui adiknya tinggal di rumah Kontrolir. Salmon
ingin adiknya kembali ke rumah. Ia tidak dapat membayangkan Neeltje akan hidup
dengan Tuan Kontrolir yang diketahui tidak memiliki istri.
Namun, ketika Salmon menemui Kontrolir,
meminta adiknya dipulangkan, ia tidak ditanggapi dengan baik. Tidak
berputusasa, Salmon menemui J.Sahelangi, putra Estephanus Sahelangi, Hukum
Besar Pasan-Ratahan-Ponosakan. J.Sahelangi
memiliki keberanian pergi kepada Kontrolir untuk meminta dan mengambil kembali
Neeltje. Karena gadis itu masih familinya. Maka, mulai saat itu, hubungan Tuan
Kontrolir X dengan sang Hukum Besar menjadi tidak baik.
Tidak lama setelah kejadian itu, Lina Borang
dan Betje Kawenas melarikan diri dari rumah Kontrolir dengan dibantu Bondy.
Mereka tidak tahan lagi dengan perilaku Tuan Kontrolir X yang nakal dan sangat
buruk. Sebab, gadis-gadis yang tinggal di rumahnya itu akhirnya mengetahui
mereka bukannya hendak dijadikan anak asuh, tapi mau dijadikan sebagai selir.
Seringkali Lina diajak bermain oleh Tuan Kontrolir X, lalu diciumi serta hendak
‘disakitinya’. Keduanya pun mengadukan semua tingkah dan perbuatan Tuan
Kontrolir X pada Bondy yang tidak berani berbuat apa-apa, sebab sekedar nyai.
Ketika Lina dan Betje lari, kebetulan Tuan
Kontrolir X tidak ada di rumah. Ia harus berdinas ke Bentenan, negeri bekas
Distrik Ratahan di pantai timur. Begitu Tuan Kontrolir X kembali ke Ratahan,
seperti biasa ia mencari kedua gadis itu karena ingin bermain bersama. Namun,
Bondy memberitahukan kalau keduanya telah pulang ke rumah orangtuanya.
Tentu saja Tuan Kontrolir X marah besar. Ia menyuruh Opas bernama Willem Poenoesingan mengejar dan menangkap keduanya dengan tuduhan telah mencuri uang sebanyak sepuluh gulden. Tapi, kedua gadis itu menyatakan mereka tidak mencuri uang tersebut. Uang tersebut, diberikan oleh Bondy sebagai pembayaran ketika mereka tinggal dan tentu saja bekerja di rumah Kontrolir.
Tentu saja Tuan Kontrolir X marah besar. Ia menyuruh Opas bernama Willem Poenoesingan mengejar dan menangkap keduanya dengan tuduhan telah mencuri uang sebanyak sepuluh gulden. Tapi, kedua gadis itu menyatakan mereka tidak mencuri uang tersebut. Uang tersebut, diberikan oleh Bondy sebagai pembayaran ketika mereka tinggal dan tentu saja bekerja di rumah Kontrolir.
Tuan Kontrolir X tidak perduli, ia ingin
mempidanakan kedua gadis muda tersebut. Maka, mereka kemudian diadili oleh
hakim pengganti. Lina dan Betje dihukum selama satu bulan oleh pengadilan yang
tidak adil dan berat sebelah, sementara Bondy tidak dipanggil untuk didengar
kesaksiannya.
Kemudian ada kejadian lain, ada seorang gadis
yang cantik bernama Barnetje, putri Dirk Lengkej dari Liwutung, negeri bekas
Distrik Pasan. Tuan Kontrolir X telah lama mengagumi kecantikannya dan
mengingininya.
Suatu hari, Barnetje membersihkan kebun sawah
baru di dekat jembatan Mangewoe, yang terletak di jalan dari Liwutung ke
Belang, negeri bekas Distrik Ponosakan.
Ketika ia membakar alang-alang, bertiup angin
selatan yang kuat, sehingga jembatan Mangewoe terbakar. Hukum Besar
Pasan-Ratahan Ponosakan membuat laporan kejadian peristiwa itu. Tetapi, ia
dipanggil oleh Tuan Kontrolir X, diminta bertindak sebagai hakim, serta disuruh
melakukan pemeriksaan yang teliti. Ketika Hukum Besar Estephanus Sahelangi
memerika kembali, dia terkejut, jembatan tersebut telah diperbaiki oleh Dirk,
meski bentuknya telah berubah dari sebelumnya.
Dirk mengaku telah memperbaiki jembatan
Mangewoe dengan biaya sendiri. Padahal, Dirk diyakini telah menerima uang muka
dari Tuan Kontrolir X, yang melihat peristiwa tidak disengaja itu sebagai
peluang untuk memiliki Barnetje. Kecurigaan makin kuat, karena Barnetje yang belum genap berusia 14 tahun kemudian
diambil Tuan Kontrolir X, tinggal bersama dengan Bondy, sebagai nyai di rumahnya.
Kabar bahwa Tuan Kontrolir X hidup bersama
dengan gadis di bawah umur sangat menghebohkan, dan akhirnya sampai ke telinga
Residen M.C.E.Stakman di kota Manado. Ia segera datang ke Ratahan untuk
memeriksanya, sekaligus memeriksa sebuah keberatan melawan Hukum Besar Ratahan
yang telah diterimanya. Dari Ratahan, Residen kemudian pergi ke Tombatu, dimana Dirk bersama
putrinya Barnetje datang menghadap kepadanya.
Tanpa penyelidikan mendalam, Residen percaya
saja kata-kata sang ayah, bahwa putrinya Barnetje telah berusia 16 tahun.
Residen Stakman tidak mau bersusah-susah menyelidiki akte kelahiran Barnetje di
register daftar kelahiran penduduk yang ada di Kantor Distrik, atau pun buku
baptisan yang dipunyai Pendeta Ratahan.
Di Tombatu ini, datang pula Jehiskiel Borang,
ayah Lina. Kepada Tuan Bangsawan Residen, ia menyampaikan keberatan. Pertama,
ia menyatakan putrinya Lina, telah dihukum secara tidak adil, tanpa
penyelidikan yang benar dan dihukum selama satu bulan bekerja paksa membuat
jalan. Kedua, ia melaporkan Tuan Kontrolir X telah mempermalukan putrinya, dan melakukan hal-hal kotor terhadapnya.
Tuan Bangsawan Residen bukannya menolong dan
memberi keadilan untuk Jehiskiel dan putrinya. Justru, hari itu ia memecat
Jehiskiel sebagai Kweekeling di Sekolah Gubernemen Mundung. Nasib sang guru
bantu begitu mengenaskan, karena beberapa bulan kemudian Jehiskiel Borang
secara resmi menerima beslit pemberhentiannya dari Directeur van Onderwijs,
Eeerendienst en Nijverheid di Batavia. ***
SUMBER KISAH:
-De Locomotief,
Nieuws-,Handels-en Advertentieblad, Semarang, No.40 Donderdag 16 Februari
1893. (Delpher Kranten).
LUKISAN:
Dari buku 'Reinwardt's Reis in den Indischen Archipel, in het jaar 1821', Ebook Google.
Sumber : http://adrianuskojongian.blogspot.com/2014/03/tuan-kontrolir-x-van-ratahan.html
LUKISAN:
Dari buku 'Reinwardt's Reis in den Indischen Archipel, in het jaar 1821', Ebook Google.
Sumber : http://adrianuskojongian.blogspot.com/2014/03/tuan-kontrolir-x-van-ratahan.html
Posting Komentar
Terima Kasih Telah Berkunjung di Amongena