Sejarah Watu Pinawetengan dan Watu Tumotowa bagian 2

Watu Tumotowa didirikan oleh setiap komunitas orang Minahasa di manapun mereka mulai membuka pemukiman.Itu menjadi mezbah umat untuk memohon restu bermukim,semoga tanah dan air memberi berlimpah sebagai tempat sekaum berkomunikasi dengan <span style="font-style: italic;">Empung Waliaan Wangko </span>Tuhan Yang Maha Esa.<br /><br />Watu Tumotowa :anak suku Tontemboan dan sebagian Toulour.<br />Watu Tumow: anak suku Tonsea<br />Watu Pahlalesan : Tombulu<br />Panimbe:orang Toudano<br /><br />Setiap hendak membuka pemukiman baru,para leluhur Minahasa melepaskan seekor ayam jantan di tempat yang telah dipilih.Dimana ayam itu pertama kali mengais,mencakar tanah,disitulah batu altar itu didirikan.Dan rumah-rumah penduduk pun mulai didirikan disekitar area yang menjadi tempat suci tersebut.Di kakas,di permukaan batu yang merupakan batu titik awal pembangunan negeri itu tergurat bekas cakaran ayam (kina'kas ni ko'ko---dan menjadi asal mula nama negeri itu;<span style="font-weight: bold;">Ka'kas</span>).Di Tompaso Baru,sebuah batu tumotowa terpahat di tebing batu,dan dipercaya kalangan tertentu sebagai pemukiman mula dan keturunan Toar Lumimu'ut sebelum mereka pindah ke kawasan Tonderukan dan sekitarnya.<br /> Keistimewaan dari batu Watu Tomotowa di Tompaso ini ialah,pertama,bahwa ia merupakan salah satu dari mezbah yang paling awal didirikan orang Minahasa sebelum mereka memenuhi seluruh penjuru jazirah utara Sulawesi dan mendirikan watu tumotowa di masing-masing tempatnya sampai menjadi banyak.Kedua,watu yang sekarang terletak di tengah arena pacuan kuda ini dipercaya sebagai tempat upacara yang serangkaian dengan upacara besar di watu Pinawetengan.Jika diatas,Watu Pinawetengan,di pimpin <span style="font-weight: bold;">Muntu-Untu</span>,pemimpin tertinggi,kemudian menjadi <span style="font-style: italic;">Opo,</span>maka yang di bawah,watu Tumotowa,di pimpin bawahan Muntu-Untu yakni <span style="font-weight: bold;">Miyoh-Iyoh,</span>Opo Mioyoh,Opo Bumi yang bersemayamkan didalam tanah.Istri Mioyoh adalah Tende-Wene,Dewi Padi(wene;padi).Upacara-upacara yang dilakukan di watu Tumotowa maupun Pinawetengan memang senantiasa dikaitkan dengan permohonan untuk kesuburan dan keberhasilan panen.

MINAHASA Sejarah Watu Pinawetengan dan Watu Tumotowa bagian 2

Watu Tumotowa didirikan oleh setiap komunitas orang Minahasa di manapun mereka mulai membuka pemukiman.Itu menjadi mezbah umat untuk memohon...

Read more

Masuknya Penduduk Pertama Di Langowan

Seperti biasanya terbentuknya suatu perkampungan penduduk (tumani) berawal dari pemukiman di suatu tempat yang awalnya hanya sebagai tempat untuk berkebun/bertani. Dan biasanya tempat perkebunan itu dinilai memiliki tanah yang subur untuk bisa bercocok tanam. Dan bagi mereka yang memiliki keterampilan sebagai nelayan, akan mencari tempat peristirahatan yang baik di kala mencari ikan. Dan syarat lainnya, yaitu tempat tersebut tidak jauh dari sumber air (mata air atau kolam). Karena biasanya manusia senantiasa membutuhkan air untuk minum, memasak atau mencuci.<br />Dari penelitian sejarah desa serta cerita turun temurun yang dapat dipercaya, dan juga bukti­-bukti sejarah lainnya (seperti pekuburan tua) maka masuknya penduduk pertama di wilayah Langowan adalah bermula dari tempat yang bernama Palamba, Temboan, dan Rumbia. Ketiga tempat ini semuanya sudah menjadi desa yang definitif.<br /><br />Sebelumnya terbentuknya tempat-tempat pemukiman tersebut, dalam sejarah Minahasa kita mengetahui ada pertemuan orang-orang Minahasa yang dilakukan di Pinawetengan. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 1428, dimana tahun ini dijadikan tahun Hari Jadi Minahasa. Setelah peristiwa pembagian (Pinawetengan) ini, maka sesuai dengan kesepakatan bersama, banyak orang Minahasa mulai kembali ke tempatnya masing­masing dan ada pula yang mencari tempat baru, sebagai tempat Demikian halnya dengan orang­-orang yang berkeinginan untuk hidup di wilayah Langowan, seperti yang dikemukakan tadi. Mereka mulai mendiami Palamba, Temboan dan Rumbia.<br /><br />1. PALAMBA<br />Kira-kira abad ke XVI, pengikut-pengikut dari Toar Lumimuut mengadakan perjalanan mengelilingi tanah Minahasa. Mereka kemudian beristirahat di Palamba yang waktu itu masih hutan rimba, dimana tempat ini menurut anggapan mereka cukup baik dan menyenangkan. Untuk tempat beristirahat mereka mendirikan gubuk dari batang pohon kayu dan daun-daunan yang menurut bahasa Tountemboan "palapa". Konon dari kata inilah pemukiman tersebut dinamakan Palapa yang kemudian berubah menjadi Palamba sampai sekarang ini.<br /><br />Lama kelamaan untuk memenuhi bekal makanan, mereka mulai membuka perkebunan/huma di tempat itu. Terutama mereka menanam pisang, umbi-umbian dan sayuran. Sehingga lama-­kelamaan perkebunan itu makin luas dan orang-orang yang bermukim di stiu makin bertambah.<br />Dengan semakin bertambah penduduknya, maka sebagaimana tradisi orang Minahasa dalam suatu perhimpunan penduduk yang sudah cukup banyak, diperlukan seorang pemimpin. Dan oleh karena itu pada sekitar tahun 1600 sampai pada tahun-tahun berikutnya pemukiman tersebut telah dipimpin oleh para Tonaas dan Walak yang sayang sekali nama-namanya tidak diketahui lagi. Sehingga dapat dipastikan bahwa desa Palamba merupakan desa tertua di Langowan. Ini juga dapat dibuktikan dengan adanya waruga (kuburan tua/prasasti) Toar Lumimuut yang ada di sana, dan merupakan tempat pertama orang-orang yang masuk dan menetap di Langowan.<br /><br /><br />2.TEMBOAN<br />Berdasarkan sejarah desa Temboan, penduduk yang pertama masuk ke Temboan adalah bangsa Portugis, yaitu pada abad XVII atau sekitar tahun 1690. Konon menurut cerita, dengan tidak sengaja mereka mengambil kayu hitam yang ada di sekitar sungai Ranowangko kemudian dimuat di kapal laut. Oleh karena muatannya sudah penuh, maka kapalnya kandas dan memerlukan beberapa hari untuk keluar dari lokasi.<br /><br />Pada saat itulah ada seorang di antara mereka yang bernama Luly mencari bantuan, terutama bahan makanan yang makin menipis dan berjalanlah ia menuju utara, dengan tidak melewati Palamba atau Atep. Karena waktu itu ia belum mengetahui kalau ada pemukiman di dekat lokasi tersebut. Dan sampailah ia di negeri Tompaso, dan dari sana ia mengajak orang bernama Kelung, sekaligus untuk membantu mengeluarkan kapal mereka yang kandas. Tetapi setibanya di sungai Ranowangko, kapal tersebut sudah tidak ada, atau sudah berangkat. Maka merekapun mencari tempat perteduhan/peristirahatan di sekitar lokasi tersebut. Mereka menamakan tempat itu Talawatu karena tempat itu hanya tumbuh pohon kayu hitam yang besar dan keras. Kemudian mulailah mereka membuat gubuk dari pohon kayu dan daun-daunan. dan membuka lahan perkebunan untuk ditanami t:unaman pangan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.<br /><br />Setelah mereka merasakan lokasi pemukiman cukup baik, maka mereka mengajak saudara dan kenalan mereka untuk bermukim di tempat ini, sehingga lama kelamaan orang-orang makin bertambah, sehingga pada tahun 1829 jadilah sebuah perkampungan Talawatu yang dipimpin oleh seorang Kepala kampung bernama Tonaas Tumataw (lihat catatan harian RC. Massie tahun 1965, tahun 1922­1946 mantan Kepala Desa Amongena). Namun saat itu perkampungan ini dilanda penyakit kolera dan malaria, sehingga pada tahun 1896 penduduk di tempat ini berpindah ke lokasi baru di dataran tinggi, yaitu di lokasi yang ada sekarang (desa Temboan). Temboan berarti berada di ketinggian, atau dalam bahasa Tountemboan matembo yang berarti dari ketinggian.<br /><br /><br />3. RUMBIA<br />Pada mulanya sekitar tahun 1825 nelayan-nelayan dari Mongondow, Ternate, Buton, Bugis, Gorontalo dan Sangir mencari ikan Taut di Laut Maluku, sehingga di antara mereka ada yang singgah di pantai Rumbia.<br /><br />Mulanya nelayan-nelayan ini karena kelelahan mereka beristirahat di tempat ini dan membuat daseng atau gubuk sebagai tempat berteduh. Oleh karena tempat ini terdapat banyak pohon rumbia yang tumbuh di rawa-rawa, maka mereka mengambilnya untuk dijadikan atap daseng/gubuk. Oleh karena pohon rumbia ini banyak manfaatnya,seperti daun dan tangkainya dapat digunakan untuk atap dan isi batangnya bisa dibuat sagu, maka akhirnya tempat peristirahatan itu dinamakan Rumbia.<br /><br />Lama-kelamaan orang-orang yang dulunya beristirahat di situ, mulai tinggal menetap, dan jumlahnya makin bertambah. Mereka yang juga dulunya tinggal di Palamba dan Atep, sebagiannya mulai menetap di Rumbia, dan akhirnya menjadi perkampungan. Pada tahun 1854 perkampungan ini telah dipimpin oleh seorang Kepala Kampung bernama Albert Mawuntu yang berasal dari negeri Atep, dan ia merupakan Kepala Kampung yang pertama.<br /><br />PERKAMPUNGAN/NEGERI MULA-MULA<br />Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masuknya penduduk pertama di Langowan adalah di perkampungan Palamba pada abad XVI atahu tahun 1500­an. Kemudian orang-orang dari Palamba tersebut pada waktu mereka pulang-pergi, diantaranya menghadiri musyawarah di Watu Pinawetengan, mereka singgah dan melihat lokasi Mawale (sekarang sebagian wilayah desa Tounelet) baik untuk perkebunan. Maka pada akhir abad XVII atau tahun 1600-an mereka datang bermukim di sana dan membuka perkebunan baru di tempat itu.<br /><br />Selain penduduk dari Palamba, konon orang-orang yang setelah mengikuti perang Minahasa-­Mongondow pada tahun 1683 sebagian tidak kembali ke negeri asalnya, tetapi kemudian datang menetap di Mawale. Oleh sebab itu setelah pemukiman Mawale ini penduduknya makin bertambah, maka mulailah mereka mencari lokasi perkebunan yang baru dan pada tahun 1806 mereka mulai membuka pemukiman baru di Walantakan dan Waleure. Negeri Walantakan pada tahun 1806 dipimpin oleh Kepala Kampung Makaware/Wakarewa. sedangkan kampung/negeri Waleure dipimpin oleh Waraney.<br /><br />Berdasarkan penelitian sejarah, maka didapati bahwa dari pemukiman Mawale inilah yang dominan terdapat penyebaran penduduk, sehingga muncul pemukiman-pemukiman baru lainnya di Langowan. Dari 29 desa di Langowan sekarang ini, sebagian besar (sekitar 24) desa awalnya dari pemukiman Mawale. Sementara empat desa lainnya, yaitu Atep, Palamba, Rumbia dan Temboan sudah lebih dulu berdiri. Mengenai asal-usul Palamba, Rumbia dan Temboan sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan Atep terbentuk dari kedatangan orang Palamba yang mulai menetap di sana sejak tahun 1780, yang awalnya juga membuka perkebunan.<br /><br />Dari gambaran di atas dapatlah disimpulkan bahwa perkampungan negeri mula-mula di Langowan adalah sebagai berikut:<br /><br /> 1. Palamba, pemukiman sekitar abad XVI atau tahun 1500­-an, dan kemudian menjadi kampung/negeri sekitar abad XVII atau tahun 1600-an,mulai dipimpin oleh seorang Tonaas yang belum diketahui jati dirinya.<br /> 2. Temboan, pemukiman tahun 1690. kepala kampung/negeri yang pertama Tonaas Tumataw.<br /> 3. Atep, pemukiman sekitar-tahun 1768 memilih suatu lokasi di dataran rendah dan menjadi kampung/negeri tahun 1780 dengan kepala kampung/Tonaas Reppi.<br /> 4. Walantakan, pemukiman tahun 1806, kepala kampung/negeri Makarewa. Dibuktikan dengan adanya waruga (kuburan tua) yang ada di Walantakan.<br /> 5. Waleure, pemukiman tahun 1806, kepala kampung/Walak Waraney.<br /><br /><br />Dari majalah Duta Minahasa terbitan Okt/Nov 2003.

MINAHASA Masuknya Penduduk Pertama Di Langowan

Seperti biasanya terbentuknya suatu perkampungan penduduk (tumani) berawal dari pemukiman di suatu tempat yang awalnya hanya sebagai tempat ...

Read more

Asal Usul Nama Langowan

Pada umumnya seseorang atau kelompok dalam memberikan nama kepada suatu obyek, apakah itu manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, tempat atau obyek lainnya, biasanya selalu mempunyai arti atau kenangan/kesan tertentu. Pemberian nama tersebut dapat saja berupa kenangan atau kesan masa lalu, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (kepahitan/penderitaan). Atau juga berkaitan dengan harapan masa yang akan datang, maupun berkaitan dengan komunikasi biogenetics. Pemberian nama ini didasarkan pada aetiologis dan saga. Aetiologis (dalam bahasa Yunani artinya keterangan atau sebab), yang ceritanya tidak hanya menerangkan asal-usul, tetapi juga menerangkan hal lain, sedangkan saga adalah cerita turun temurun yang berisi tentang perjalanan individu/kelompok, dan juga norma-norma yang berlaku terhadap individu/kelompok bersangkutan.<br /> <br /> <br /> Secara etimologis (sejarah asal-usul kata), Langowan berasal dari kata rangow (bahasa Tountemboan) yang berarti lobang. Rangowan (berlobang) dalam hal ini bukan pada gunung, tanah, atau bench lainnya, tapi maksudnya berlobang pada bagian pokok kayu. Konon kayu yang berlobang itu, terletak di tengah pusat kota seperti sekarang ini, yaitu tepat di Gereja GMIM Sentrum (Jemaat Schwarz) sekarang.<br /> <br /> <br /> Di Langowan pada masa itu memang banyak ditumbuhi pepohonan dan tanaman lainya. Di antaranya pohon we'tes (pohon beringin). Di batang pohon inilah terdapat lobang tersebut. Dan di pohon ini pulalah menjadi pusat penyembahan orang-orang Langowan kepada dewa-dewa (opo-opo), termasuk juga kepada Amang Kasuruan atau si Apo Wanandangka. Dan karena pohon ini dianggap keramat, maka ditempat ini pula dibuat tempat pasoringan.<br /> <br /> Pasoringan berasal dari kata soringan yaitu alat bunyi yang dibuat dari sebilah bambu (wulut), semacam pipa yang diberi 7 lobang. Apabila dihembuskan angin atau ditiup akan mengeluarkan bunyi. Bunyi tersebut analog dengan bunyi burung Wala'. Jadi Pasoringan berarti tempat memanggil/mendengarkan bunyi burung Wala' oleh para Walian dan Tonaas. Walian adalah para pemimpin agama (Alifur/ agama suku Minahasa). Sedang para Tonaas adalah pemimpin pemerintahan, pertanian, keamanan dan lainnya. Di tempat pasoringan inilah para pemimpin tersebut di atas bertanya dan mendengarkan jawaban, ya atau tidak tentang sesuatu maksud yang ditanyakan. Atau untuk mengetahui apakah yang akan terjadi di hari-hari selanjutnya. Bunyi burung Wala' ini diartikan/diterjemahkan secara bersama-sama oleh Walian dan para Tonaas.<br /> Pada pohon we'tes yang berlobang ini, selain tempat mendengarkan bunyi burung, juga sebagai tempat pareghesan (tempat membawa persembahan/ sesaji). Dengan pengertian, bahwa di tempat inilah mejadi pusat kegiatan keagamaan dan pemerintahan.<br /> <br /> <br /> Caranya ialah para Walian bersama umat datang berkumpul untuk memuja para opo dan si Amang Kasuruan, dengan membawa sesajian/persembahan (raghesan). Sedangkan para Tonaas menggunakannya sebagai tempat pertemuan rakyat untuk mendengarkan perintah atau aturan yang harus dilaksanakan. Dan biasanya perintah itu dilakukan melalui palakat/pengumuman: ma umung asi we'tes rangow.<br /> <br /> <br /> Orang yang bermaksud berkumpul untuk membawa persembahan dan memuja serta mendengarkan perintah, awalnya dari mereka bermukim di Mawale (kini bagian kiri dari Desa Tounelet), yang terletak di bagian selatan pohon tersebut. Jaraknya dari pohon we'tes rangowan itu kira-kira 600 depa.<br /> <br /> <br /> Ketika para pendatang dari Eropa mulai menginjakkan kakinya di Langowan, merekapun mulai mendengar ucapan kata rangow tersebut. Dan oleh karena orang Eropa kurang mampu menyebut huruf "r" dengan jelas, maka sebutan rangow menjadi langow, dan juga rangowan, menjadi langowan. Lama kelamaan akhirnya tempat itu beserta penduduknya disebut dengan Langowan, sampai pada saat ini.<br /> <br /> <br /> Namun sumber lain juga mengungkapkan bahwa kata langow berasal dari kata lagow yang artinya anoa. Karena konon di Langowan dulunya banyak binatang khas Sulawesi tersebut.<br /> <br /> <br /> Pertengahan abad XVIII penduduk makin bertambah, maka terjadilah migrasi dari pemukiman Mawale ke utara dan ke timur, serta ke tempat lainnya. Maka mereka yang ke utara membentuk pemukiman baru, sehingga muncullah kampung Waleure, yang ke kampung Amongena dan Wolaang. Dan yang dari Waleure ada yang ke barat daya, menjadi kampung Koyawas. Zaman dimana penduduk pertama hidup di Langowan selanjutnya berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.<br /> <br /> <br /> Kedatangan J.G. Schwarz di Langowan membawa perubahan yang besar, khususnya berkaitan dengan hidup keagamaan orang Langowan, dan orang Minahasa umumnya. Di Langowan khusunya, pusat penyembahan agama Alifuru (raghesan dan tempat bertanya pada burung), diubahnya menjadi pusat pelayanan Kristiani (Nasrani). Di tempat itulah Schwarz mendirikan gereja sebagai tempat peribadatan kepada Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus. Tempat peribadatan itu masih berdiri sampai sekarang, yaitu Gereja Sentrum (Jemaat Schwarz) langowan).<br /> <br /> Dari majalah Duta Minahasa terbitan Okt/Nov 2003.

MINAHASA Asal Usul Nama Langowan

Pada umumnya seseorang atau kelompok dalam memberikan nama kepada suatu obyek, apakah itu manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, tempat atau obyek...

Read more

Sejarah Pemerintahan Di Langowan

telah dituturkan sebelumnya, di Langowan awalnya penduduk bermukim di Palamba, Rumbia, Temboan dan Mawale. Khusus yang mendiami Mawale, kemudian sebagiannya membuka perkebunan baru dengan berpindah tempat, sehingga membentuk pemukiman baru, seperti Waleure, Walantakan, Amongena, Wolaang dan lainnya.<br /><br /><br />ebelum tahun 1828 sudah ada sekitar 5 tempat pemukiman, yaitu Mawale, Waleure, Walantakan, Palamba dan Talawatu (kemudian menjadi Temboan). Pemukiman­pemukiman itu masing-masing dikepalai oleh seorang Tonaas. Dan kepala-kepala dari para tonaas ini adalah seorang Walak (kepala suku). Para Walak yang disebut-sebut pernah memimpin adalah: Rambijan, Robot, Tumbaijlan dan Tawaijlan.<br /><br /><br />Tahun 1829 Fiskal Irot diangkat menjadi Major dalam jabatan Kepala Distrik oleh Residen Manado Peternat. la memerintah sebagai Hukum Besar mulai 1829 hingga 1841. Pada saat itu perkampungan baru terus bermunculan, yaitu Amongena, Wolaang, Koyawas, Tounelet dan Atep. Sehingga tercatat ada sembilan kampung. Dan setiap desa dipilih dan diangkat Hukum Tua.<br />Tahun 1841-1847 A. Tendap Saerang menjadi Hukum Besar, dan Bastian Thomas Sigar diangkat menjadi Hukum Kedua oleh Residen Cambier dan Opzier Tondano Benseijder.<br /><br /><br />Pada Pebruari 1848 Bastian Thomas Sigar diangkat menjadi Major/Hukum Besar oleh Resident Van Nolpen, sedangkan P. Kumolontang menjadi Hukum Kedua. Tahun 1852 N. Pandeirot juru tulis Wolaang diangkat menjadi juru tulis Distrik oleh Resident Scherjas.<br /><br /><br />Tahun 1853 P. Kumolontang meninggal, dan digantikan oleh Laurenst A. Sigar. Tahun 1854 bertambah satu kampung, yaitu Rumbia. Jadi sudah ada 10 kampung. Tahun 1861 Conteleur Riedel di Tondano mengangkat N. Pandeirot menjadi Hukum Tua Walantakan, Paulus Saerang Hukum Tua Waleure dan Benyamin Sigar Hukum Tua Amongena.<br /><br /><br />Januari 1870 L.A Sigar diangkat menjadi Majoor/Hukum Besar oleh Resident Deance, dan Desember 1870 N. Pendeirot diangkat menjadi Hukum Kedua. Bersamaan dengan itu pemukiman di Tumaratas menjadi kampung.<br />Sejak 1870-1884 ketika L.A Sigar sebagai Hukum Besar, rakyat diperintah menanam kopi. L.A Sigar meninggal 2 Mei 1910 (kuburnya ada di Tompaso).<br />Pebruari 1884 N. Pandeirot diangkat menjadi Majoor/Hukum Besar oleh Residen Jansen, sedangkan Hukum Kedua tidak lagi diangkat. Pandeirot bertugas hingga 1891. Di waktu pemerintahan N. Pandeirot bertambah satu kampung, yaitu Lowian (1887). Jadi sudah ada 12 kampung/desa.<br /><br /><br />Selanjutnya N. Pandeirot digantikan oleh Major Nicolaas E. Mogot yang sebelumnya Hukum Kedua Remboken dan Kakas. Sedangkan Hukum Kedua diangkat R. Maringka/W. Warokka oleh Residen/Conteleur Adam. Pada masa N. Mogot memerintah, bertambah beberapa kampung, yaitu Sumarayar (1888), Karondoran (1898), Walewangko (1898), Manembo (1899), Teep dan Paslaten (1900). Sehingga menjadi 19 kampung/desa.<br /><br /><br />Tahun 1904-1911 Hukum Besar Ever Gradus Mogot dan Hukum Kedua Palengkahu. Bertambah satu desa, Noongan. Sehingga menjadi 19 desa.<br />1912-1919 Hukum Besar A.W. Ingkiriwang dan Hukum Kedua Sahelangi/J. Loho Sesudah 1919 maka negeri Langowan menjadi onder-distrik. Tahun 1920 bertambah desa Tempang, sehingga Langowan menjadi 20 desa. Mulai 1922 Hukum Tua tidak lagi ditunjuk tapi dipilih.<br />1923-1926 Wakary menjadi Hukum Kedua.<br />1926-1930 Masa P. Pandeiroth kedua, bertambah desa Winebetan.<br />1930-1935 W. Momuat Hukum Kedua.<br />1935-1937 B.C. Lasut Hukum Kedua.<br />1937-1940 G.P.A. Wenas Hukum Kedua.<br />Pada waktu pendudukan Jepang (Perang Dunia II), No' Mogot diangkat menjadi gunco (Hukum Besar). Bertambah desa Karumenga (1942).<br />1941-1943 No'Mogot Hukum Besar.<br />1943-1946 B.Lapian Hukum Besar.<br />1946-1949 A.R. Warouw Hukum Kedua. Bertambah desa Raringis (1946), desa Taraitak dan Ampreng (1947).<br />1949-1951 Lumanauw Hukum Kedua. Bertambah desa Kaayuran Atas (1950).<br />1951-1953 A. Wenas Hukum Kedua.<br />1953-1954 A. Tambajong Hukum Kedua. Bertambah desa Toraget (1954)<br />1955 M.H.W. Dotulong Hukum Kedua<br />1956 A. Kumolontang Hukum Kedua<br />1957 P.V. Kembuan Hukum Kedua<br />1957-1958 H.D.N Massie Hukum Kedua.<br />1958-1959 J.A. MonintjaHukum Kedua<br />1960-1962 R.C. Assa Hukum Kedua<br />1962-1966 A.J. Malonda Hukum Kedua<br />1966-1967 W. Tamengkel, BA Hukum Kedua<br />1967-1970 N.J. Rumengan Hukum Kedua<br />1970-1977 H.D.N. Massie Hukum Kedua/Camat<br />1977-1983 J.F. Lalujan Camat. Desa Amongena dimekarkan menjadi dua (Amongena I dan Amongena II) sesuai SK Gubernur No. 28 tanggal 28 Desember (Amongena II jadi definiti fl. Jumlah desa menjadi 28.<br />1983-1987 F. Mangundap, BA. Camat<br />1987-1990 Drs. F.H. Tampi, Camat<br />1990-1993 Drs. P. Besouw, Camat.<br />1993-1996 Drs. S.E. Tambajong, Camat<br />1996-1999 Drs. S.W.Z. Poluan, Camat<br />1999-2001 Drs. Johan Watti, Camat<br />2001-2002 Drs P.D. Sumampouw, Camat. Kecamatan Langowan dimekarkan menjadi dua kecamatan pada 5 November 2001 (kecamatan Langowan Timur dan Kecamatan Langowan Barat). Desa Kopiwangker bertambah (2002).<br />Dengan pemekaran tersebut Langowan Timur memiliki 15 desa, dan Kecamatan Langowan Barat 14 desa.<br /><br /><br />Ke-15 desa di Langowan Timur adalah Amongena I, Amongena II, Wolaang, Waleure, Tempang, Toraget, Karumenga. Sumarayar, Karondoran, Teep, Atep, Manembo, Palamba, Rumbia dan Temboan. Sedang 14 desa di Kecamatan Langowan Barat adalah Nonongan, raringis, Ampreng Tumaratas, Taraitak, Walantakan, Paslaten, Koyawas, Lowian, Walewangko, Tounelet, Winebetan, Kayuran Atas dan Kopiwangker.<br /><br /><br />2001-sekarang Drs. P.D. Sumampouw, Camat Langowan Timur<br />2001-... Drs. Alex Slat, Camat Langowan Barat<br /><br />Dari majalah Duta Minahasa terbitan Okt/Nov 2003.

MINAHASA Sejarah Pemerintahan Di Langowan

telah dituturkan sebelumnya, di Langowan awalnya penduduk bermukim di Palamba, Rumbia, Temboan dan Mawale. Khusus yang mendiami Mawale, kemu...

Read more

Langowan Dalam Sejarah

Nama Langowan sudah sangat dikenal, baik di Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia, bahkan sampai di luar negeri. Terkenalnya Langowan berkaitan dengan sejarah, baik berkaitan dengan demografi, geografi, agama (penginjilan) maupun hal-hal lain yang terkait dengan budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya.<br /><br /><br />Terkenalnya Langowan, bahkan sampai di luar negeri, berhubungan dengan hadirnya orang-orang Langowan di berbagai tempat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa waktu lalu harian Manado Post memberitakan bahwa orang Minahasa yang berada di Amerika Serikat terbanyak adalah orang-orang yang berasal dari Langowan. Di berbagai tempat di Indonesia dan juga di luar negeri pun orang-orang Langowan selalu membentuk perkumpulan negeri dengan nama Rukun Langowan.<br /><br /><br />Nama Langowan sebagaimana banyak ditulis berasal dari kata "rangouw". Kata rangouw ini untuk menunjuk kayu besar berlubang yang dulunya terletak di tengah kota Langowan, yaitu di Gereja Sentrum (Jemaat Schwarz) sekarang. Kayu berlubang itu dalam bahasa Tountemboan disebut dengan rangouw. Dalam penuturan sejarah, oleh karena orang Belanda dan juga orang Eropa lainnya tidak bisa menyebut huruf "r" dengan jelas, maka sebutan rangouw yang terdengar adalah "langouban". Dan dari kata "langouan" itulah akhirnya menjadi kata Langowan.<br />Sebelum muncul kata Langowan, ada pula tulisan yang menyebut dengan sebutan Langouban. Hal ini dapat dilihat dari sejarah ketika terjadi perjanjian antara VOC dan bangsa Malesung dalam naskah 10 Januari 1679/10 September 1699.<br />Dari majalah Duta Minahasa terbitan Okt/Nov 2003.

MINAHASA Langowan Dalam Sejarah

Nama Langowan sudah sangat dikenal, baik di Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia, bahkan sampai di luar negeri. Terkenalnya Langowan berkaita...

Read more

Asal Usul Suku Minahasa Anak Tonsea

<div class="post-body entry-content"> Menurut fakta- fakta penyelidikan kebudayaan dunia dan benda- benda purbakala yang terdapat di Eropa, Afrika, Asia, Amerika, maka manusia diperkirakan mulai menyebar hingga ke pelosok di muka bumi sejak 35 ribu tahun lalu.<br />Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti:<br />Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek)<br />Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku :Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 .<br />Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dll.<br />Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun (biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.<br />Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan (dekat Tompaso Baru sekarang dan dengan kehidupan pertanian yang sarat dengan usaha bersama dengan saudara sekeluarga/ taranak tampak dari berbagai versi tarian Maengket) Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan Minahasa.<br />Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas manusia sudah dijalankan diMinahasa sejak awal.<br />Tingkatan atau status sosial diatur sbb :<br />Golongan Makasiow (pengatur ibadah yang disebut Walian/ Tonaas) hingga saat ini istilah yang dipakai adalah 2 X 9 ( 9 orang tonaas yang menempati posisi antara Sang penguasa dengan Surga dan Bumi, Baik tidak Baik, dan semua hal tentang keseimbangan Golongan Makatelu pitu (pengatur/ pemerintah dengan gelar Patu’an atau 3 X 7 Teterusan/ kepala desa dan pengawal desa disebut Waranei ( 7 orang pengatur/ pemerintah)<br />Golongan Makasiow Telu 9 x 9<br />Seiring waktu, jumlah penduduk bertambah, tempat tinggal mulai padat dan lahan terbatas, maka keturunan Toarlumimuut berpencar tumani (membuka lahan baru)untuk kelangsungan taranak mereka serta Golongan Pasiyowan Telu (rakyat)<br />Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan<br />Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi. Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng.<br />Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga.<br />Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.<br />Akibat pemberontakkan itu, Tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.<br />Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke 14.<br />Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilihTonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb.<br />Hasil-hasil musyawarah tsb, pada sebagian orang dikaitkan dengan nama tempat berlangsung musyawarah yang dikenal saat sekarang dengan Watu Pinawetengan ( batu tempat dimana mereka bersatu untuk kemudian membagi) bertujuan untuk mengembalikan adat yang diwariskan Toar Lumimuut. 9 pokok hasil musyawarah yaitu:<br />Kepala pemerintahan dipilih dari yang tua, jujur, berani, wibawa, kuat dan berani maju dalam segala hal, segala usaha harus dimusyawarahkan.<br />Dewan tua-tua (Patuosan) yang mengawasi jalannya pemerintahan oleh Hukum Tua, Mempertahankan kebiasaan yang sudah baik. (Kenaramen memperketat wibawa orang tua kepada anak-anak perempuan dan laki-laki sama kedudukannya, Pesan tua-tua jangan diremehkan.<br />Sejak saat itu pemerintahan di Minahasa dipegang oleh Rakyat (Pasiowan Telu) karena demokrasi mulai diterapkan<br />Keputusan penting yang lain adalah membagai wilayah Minahasa menjadi 4 wilayah Tontewoh, Tombulu, Tompakewa, Tolour.<br />Istilah Tontewoh diganti Tonsea pada tahun 1679 sedangkan istilah Tompakewa diganti Tontemboan pada tahun 1875.<br />Setelah selesai musyawarah di Watu Pinabetengan, setiap anak suku Tanah Malesung/ Minahasa yaitu 4 anak suku yang merdeka dan dipimpin tonaas masing masing kembali dengan para walak( pemerintahan otonom) kumpulan beberapa desa/ wanua. Suku Tonsea dipimpin Tonaas Walalangi dan Tonaas Rogi berangkat menuju ke arah Timur Laut disebelah Timur Tenggari.<br />Suku Tombulu ke Utara dipimpin Tonaas Walian Mapumpun, Tonaas Belung dan Tonaas Kekeman ke Majesu.<br />Suku Tolour berangkat ke Timur ke Atep dipimpin Tonaas Singal.<br />Suku Tontemboan berangkat ke Barat Laut menempati Kaiwasian sekitar Tombasian.<br />Anak suku Tonsea dari Niaranan, suku Tonsea pindah ke Kembuan. Di daerah tersebut banyak tumbuh kayu sea yang digunakan sebagai obat. Itulah sebabnya mereka menyebut suku mereka Tou un sea atau Tonsea. Keluarga dari Kembuan sebagai berikut:<br />Keluarga Tonaas Rurugala menempati daerah Walantakan<br />Keluarga Tonaas Wenas menempati daerah Sinalahan.<br />Keluarga Tonaas Roringtudus menempati daerah Tiwoho.<br />Keluarga Tonaas Maramis menempati daerah Kinarepuan<br />Keluarga Tonaas Roringwailan menempati daerah Kuhun.<br />Keluarga Tonaas Sigarlaki dan Tonaas Maidangkai menempati daerah Maandon.<br />Keluarga Tonaas Runtukahu, menempati daerah Kumelembuai.<br />Keluarga Tonaas Kapongoan dan Tonaas Dotulung menempati daerah Kema.<br />Abad ke-15 Tonaas Dotulung, Tonaas Tidajoh, Tonaas Koagou menguasai daerah Dimembe. Salah satu hal yang menonjol di Tonsea adalah tetap adanya satu walak/ anak suku Tonsea. Tonsea tetap utuh satu dibawah Tonaas Dotulung yang kemudian namanya dirubah menjadi Dotulong.<br />Sumber: Kawanua </div> <span class="post-author vcard"> <span class="fn"></span></span>

MINAHASA Asal Usul Suku Minahasa Anak Tonsea

Menurut fakta- fakta penyelidikan kebudayaan dunia dan benda- benda purbakala yang terdapat di Eropa, Afrika, Asia, Amerika, maka manusia d...

Read more

Arti Fam Orang Manado

Buat orang Manado, dalam hal ini suku besar Minahasa, fam (family-name) mewakili jati diri, citra, dan bahkan martabat serta harga diri. Fam diturunkan berdasarkan garis keturunan orang tua laki-laki (patrilinial) dan wajib digunakan sebagai harkat serta lambang bagi generasi penerus keluarga.<br />Setelah menikah, fam dari laki-laki akan menjadi nama keluarga. Seorang istri wajib menyandang fam dari suaminya didepan fam-nya sendiri. Anak-anakpun wajib menyandang fam dari ayah. Dan sekali lagi, keluarga wajib menjunjung tinggi martabat dari fam yang disandangnya.<br />Buat orang Minahasa, fam sangat dijunjung tinggi. Sayangnya, banyak generasi sekarang yang tak mengerti asal usul fam di daerahnya, bahkan fam sendiri kadang tidak tau artinya.<br />Fam yang dipakai turun temurun saat ini berasal dari nama nenek moyang orang MInahasa. Nama-nama itu biasanya mencerminkan pekerjaan, sifat, tempat tinggal, atau usaha dari pemilik nama pertama itu.<br /><br />Berikut rangkuman oleh seorang sosiolog asal Manado, FS Watuseke.<br />Dalam bahasa Minahasa terutama dimana dalam bahasa sehari-hari Melayu Manado "nama keluarga" disebut Fam. Dimana kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Belanda van yang kemudian setelah melalui beberapa proses disebut sebagai Fam.<br />Penggunaan fam tersebut dilakukan sekitar awal abad 19 di negeri Belanda. Waktu itu rakyatnya diwajibkan mempunyai Fam. Sebelumnya memang sudah punya Fam akan tetapi belum menyeluruh. Demikian pula yang berlangsung di Minahasa kira-kira pada abad 19. Sebelumnya memang ada orang yang memakainya ,tetapi belum menyeluruh. Seperti halnya Bastian Saway, Fam tersebut ada sejak akhir abad ke 17. Pedro Ranty abad 18 dan kemudian awal abad ke 19 terdapat nama Fam seperti Matinus Dotulong (akhir abad 18, Hendrik Dotulong, Frederik Lumingkewas, Abraham Lotulong, dlll).<br />Pada tahun 1831 tibalah di Minahasa dua orang penginjil Protestan JF Riedel dan JF Schwarz di Langowan. Mereka sebagai penginjil dan mengabarkan injil sekaligus membaptis anggota baru yang masuk kristen. Pada waktu itu setiap orang dipermandikan mendapat sebuah nama Alkitab atau nama Eropa, seperti Daniel, Jan, Piet, Frans dan lainnya. Pada saat pembaptisan orang tersebut diberi sebuah nama Fam, nama keluarga.<br />Biasanya nama tersebut nama ayah (nama satu-satunya yang dipakai) yang disusul dengan nama baptis atau Fam. Disamping nama ayah, nama tersebut juga diambil dari nama nenek pria. Biasanya nama ayah atau nenek pria itu adalah nama asli Minahasa, seperti Watuseke, Sarapung, Korengkeng, Turang, Sondakh dan lainnya. Nama baptis tersebut dijadikan nama panggilan yang diambil dari nama-nama di Alkitab atau dari negeri Eropa barat terutama dari Belanda. Karena itulah setiap orang Minahasa bernama panggilan atau nama sehari-hari dari Alkitab dan Belanda.<br />Berdasarkan data tersebut, nama orang Minahasa atau Fam sekarang diambil dari nama panggilan setiap orang pria. Sedangkan nama wanita tidak diturunkan sehingga dilupakan oleh sebagian orang.<br />Dengan hanya mengenal nama panggilan satu-satunya, tentu ada nama pengenal jika nama itu dipakai beberapa orang. Hal itu dibedakan dengan adanya sikap, cacat, atau tanda sesuatu pada orang yang kita maksud. Seperti Wanta Kento jika ia pincang, Wilem Todeo Kokong (Wilem berkepala lonjong), Min Pirop (Min bermata buta) dan lainnya.<br />Ada nama-nama yang menyatakan sifat dari orang yang dimaksud, seperti ia seorang pemberani dinamai Mamauaya dari kata wuaya atau berani. Mama'it atau Ma'it orang yang selalu memasak agak kebanyakan garam. Oki atau kecil adalah orang selalu mengecilkan sesuatu dan sebagainya.<br /><br />Masih banyak nama-nama yang mengikuti sifat, kepribadian, tempat tinggal, pekerjaan, perjuangan dan lainnya. Kesemua ini pada akhirnya dipergunakan oleh orang Minahasa walaupun dia berada di luar daerah. Fam tersebut khususnya mengikuti garis keturunan orang tua laki-laki.<br />Sebagai contoh, karena pekerjaannya selalu menebang pohon, disebut Pele. Sesuai tempat tinggal, dimana daerahnya selalu terjadi kebakaran karena adanya kilat dipanggil Pongilatan. Kalau dia tinggal pada suatu bukit atau gunung ia disebut Wuntu. Kalau dia mau naik bukit atau gunung disebut Mawuntu. Suatu tempat yang bersifat serong atau miring dikatakan Kawilaran. Kalau menerka disebut Tumeleap. Tempat dimana sering dicungkil tanahnya dengan sebuah tongkat disebut Tu'ila dan pemiliknya dinamai demikian.<br /><br />Sedangkan pekerjaannya sering memotong dengan sebuah parang disebut Sumanti. Di dalam bahasa Tombulu kata ini mengandung arti lain, yaitu batu pujaan. Dalam bahasa Tondano disebut Panimbe. Ranting-ranting kering yang disebut Rankang dipergunakan untuk merintangi tempat jalan.<br /><br /><br />Daftar fam orang Minahasa/Manado<br />A<br />Abutan : Pembersih<br />Adam : Tenang<br />Agou : Anoa<br />Akai : Penjaga<br />Aling : Pembawa<br />Alui : Pelipur lara<br />Amoi : Teman sekerja<br />Andu : Tempat bersenang<br />Anes : Tawakal<br />Angkouw : Keemasan<br />Anis : Penghalau<br />Antou : Nama kembang<br />Arina : Tiang tengah<br />Assah : Pembuka jalan<br />Awondatu : Yang dikehendaki<br />Awui : Senang<br /><br />B<br />Batas : Pemutus<br />Bella : Pasukan<br />Bokau : Bibit emas<br />Bokong : Mengikat<br />Bolang : Penangkap ikan<br />Bolung : Perisai<br />Bororing : Pembuat roreng<br />Boyoh : Pendamai<br />Buyung : Penurut<br /><br />D<br />Damongilala: Benteng<br />Damopoli : Jujur dan adil<br />Dapu : Mematahkan<br />Datu : Pemimpin<br />Datumbanua : Kepala Walak<br />Dayoh : Karunia<br />Dededaka : Panah lidi hitam<br />Dendeng : Suara yang terang<br />Dengah : Hakim<br />Dewat : Menyeberangi<br />Dien : Dihiasi<br />Dimpudus : Cerdik kepalanya<br />Dipan : Ukuran depa<br />Dompis : Pekerja baik<br />Dondo : Prinsip<br />Dondokambei : Prinsip tetap<br />Donsu : Jimat penolak<br />Doodoh : Penggerak<br />Doringin : Penari<br />Dotulong : Pahlawan besar<br />Dumais : Menggenapi<br />Dumanauw : Pemenang<br />Dumbi : Didepan<br />Dungus : Berkedudukan<br />Dusaw : Pembuka<br /><br />E<br />Egam : Menjaga<br />Egetan : Lonceng kecil<br />Ekel : Lirikan<br />Elean : Arah barat<br />Eman : Dipercaya<br />Emor : Lengkap<br />Endei : Dekat<br />Engka : Pegang<br />Enoch : Pilihan<br />Ering : Kurang besar<br /><br />G<br />Ganda : Bambu besar<br />Gerung : Bunga ukiran<br />Gerungan : Bunga-bunga ukiran<br />Gigir : Mengikis rata<br />Gimon : Rupa yang indah<br />Girot : Pemutus<br />Goni : Cerdik<br />Goniwala : Cerdik akal<br />Gonta : Langkah<br />Gosal : Timbunan<br />Gumalag : Menanduk<br />Gumansing: Pembujuk<br />Gumion : Pegangan<br /><br />I<br />Ilat : Menunggu<br />Imbar : Yang dibuang<br />Inarai : Baju jimat<br />Ingkiriwang : Dari angkasa<br />Inolatan : Pegang tangan<br />Intama : Pembawa<br />Item : Hitam<br /><br />K<br />Kaat : Penglihatan<br />Kaawoan : Mampu kerja<br />Kaendo : Teman mapalus<br />Kaeng : Sempit<br />Kaes : Menyiram<br />Kainde : Ditakuti<br />Kairupan : Kekuatan<br />Kalalo : Amat berani<br />Kalangi : Dari langit<br />Kalempou : Mengunjungi<br />Kalempouw : Kawan baik<br />Kalengkongan: Tepat berjatuhan<br />Kalesaran : Pusat segala usaha<br />Kalici : Mempesona<br />Kaligis : Sama keluarga<br />Kalitow : Tertinggi<br />Kaloh : Sahabat setia<br />Kalonta : Perisai kayu<br />Kalumata : Pedang perang<br />Kamagi : Bunga hias<br />Kambey : Bunga hias<br />Kambong : Obor<br />Kamu : Pegang teguh<br />Kandio : Amat kecil berarti<br />Kandou : Bintang pagi<br />Kapantouw : Pembuat<br />Kaparang : Pandai mengukir<br />Kapele : Amat tegas<br />Kapoh : Pemuja<br />Kapoyos : Dukun pijat<br />Karamoy : Penunjuk<br />Karau : Antara<br />Karinda : Kawan serumah<br />Karundeng : Pengusut<br />Karuyan : Di kejauhan<br />Karwur : Subur<br />Kasenda : Kawan sehidangan<br />Katopo : Keturunan opo<br />Katuuk : Pemegang rahasia<br />Kaunang : Cerdik<br />Kawatu : Pendirian teguh<br />Kawengian : Bintang sore<br />Kawilarang : Diatas terbuka<br />Kawulusan : Benteng<br />Kawung : Tersusun keatas<br />Kawuwung : Berkelebihan<br />Keincem : Penyimpan rahasia<br />Kekung : Pedang perisai<br />Keles : Bayi<br />Kelung : Perisah<br />Kembal : Agak lemah<br />Kembau : Kurang kuat<br />Kembuan : Sumber<br />Kenap : Genapkan<br />Kepel : Penakluk<br />Kerap : Seiring<br />Kere : Testa<br />Kesek : Penuh sesak<br />Kewas : Tumbuhan<br />Khodong : Kecil, menentukan<br />Kilapong : Batu kilat<br />Kindangen : Yang diberkati<br />Kirangen : Dimalui<br />Kiroiyan : Pengembara<br />Kodongan : Mengecil<br />Kojongian : Penggeleng kepala<br />Koleangan : Pemain<br />Kolibu : Banyak bekerja<br />Koloday : Saudara lelaki<br />Koly : Suka kerja<br />Komaling : Pembawa<br />Komaling : Penghormat<br />Kondoi : Lurus kedudukannya<br />Kontul : Kerja sendiri<br />Kopalit : Pendamai<br />Koraah : Suka panas matahari<br />Korah : Suka panas matahari<br />Korengkeng : Penakluk<br />Korompis : Hasil kerja yang baik<br />Koropitan : Penghukum<br />Korouw : Perkasa<br />Korua : Membagi dua<br />Kotambunan : Penimbun<br />Kountud : Kerja sendiri<br />Kowaas : Penggemar barang kuno<br />Kowonbon : Tahan uji<br />Kowu : Penempah<br />Kowulur : Ke gunung<br />Koyansouw : Pengipas<br />Kuhu : Menampakkan<br />Kulit : Kecukupan<br />Kullit : Cukup<br />Kumaat : Melihat<br />Kumaunang : Penyelidik cerdik<br />Kumayas : Membongkar<br />Kumendong : Pengumpul tenaga<br />Kumolontang : Melompat keliling<br />Kumontoy : Lurus hati<br />Kupon : Diharapkan<br />Kusen : Penutup<br />Kusoi : Cerdik<br /><br />L<br />Lala : Berjalan<br />Lalamentik : Semut api<br />Lalowang : Perlumba<br />Lalu : Pendesak<br />Laluyan : Melintasi<br />Lambogia : Paras jernih<br />Lampah : Tak seimbang<br />Lampus : Tembus<br />Lanes : Kurang semangat<br />Langelo : Menapis<br />Langi : Tinggi<br />Langitan : Tinggian<br />Langkai : Dihormati<br />Languyu : Tanpa tujuan<br />Lantang : Berharga<br />Lantu : Penentu<br />Laoh : Manis<br />Lapian : Teladan<br />Lasut : Pemikir cerdas<br />Legi : Menipis<br />Legoh : Penelan manis pahit<br />Lembong : Pembalas budi<br />Lempas : Kedudukan<br />Lempou : Kunjungan<br />Lengkey : Dimuliakan<br />Lengkoan : Penghalang<br />Lengkong : Pendidik<br />Lensun : Diharapkan<br />Leong : Main<br />Lepar : Tujuan<br />Lesar : Halaman<br />Lewu : Tersendiri<br />Liando : Penimbang<br />Limbat : Berganti<br />Limbong : Ingat budi<br />Limpele : Penurut<br />Lincewas : Tumbuhan obat<br />Lintang : Bunyi-bunyian<br />Lintong : Pusat persoalan<br />Liogu : Jernih<br />Litow : Tinggi<br />Liu : Bijaksana<br />Liwe : Air mata<br />Loho : Perindu<br />Loing : Pengawas<br />Lolombulan : Bulan purnama<br />Lolong : Bulan<br />Lomboan : Lemparan keatas<br />Lompoliu : Pengajar<br />Lonan : Ramah<br />Londa : Perahu<br />Londok : Tinggi<br />Longdong : Penjaga<br />Lontaan : Pembuka jalan<br />Lontoh : Tinggi keatas<br />Losung : Pendesak<br />Lowai : Bayi lelaki<br />Lowing : Mengawasi<br />Ludong : Kepala negeri<br />Lumanau : Biasa berenang<br />Lumangkun : Penyimpan rahasia<br />Lumatau : Berpengetahuan<br />Lumempouw : Meliwati<br />Lumenta : Terbit<br />Lumentut : Bukti<br />Lumi : Meminggir<br />Lumingas : Membersihkan<br />Lumingkewas : Tepat dlm segala hal<br />Lumintang : Menunggalkan<br />Luminuut : Berpeluh<br />Lumoindong : Melindungi<br />Lumondong : Berlindung<br />Lumowa : Meliwati<br />Lumunon : Muka bercahaya<br />Luntungan : Memiliki jambul<br />Lutulung : Penolong<br /><br />M<br />Maengkom : Penakluk<br />Maengkong : Mendidik<br />Mailangkai : Yang ditinggikan<br />Mailoor : Disenangi<br />Maindoka : Kecukupan<br />Mainsouw : Bersaudara 9<br />Mait : Obat pahit<br />Makadada : Memuaskan<br />Makal : Penutup lubang<br />Makaley : Melindungi/menutup<br />Makaliwe : Air mata<br />Makangares : Mengharap<br />Makaoron : Mengulung musuh<br />Makarawis : Puncak gunung<br />Makarawung : Tinggi usaha<br />Makatuuk : Hidup sentosa<br />Makawalang : Orang kaya<br />Makawulur : Dihormati<br />Makiolol : Selalu ikut<br />Makisanti : Dengan pedang<br />Malingkas : Tetap berada<br />Mamahit : Dukun obat pahit<br />Mamangkey : Pengangkat<br />Mamantouw : Penubuat<br />Mamanua : Pembuka negeri<br />Mamarimbing : Pemberi kesuburan<br />Mamba : Ditetapkan<br />Mambo : Penetapan<br />Mambu : Pemberi supa<br />Mamengko : Pemberi teka-teki<br />Mamentu : Pemberi rasa<br />Mamesah : Pembuka rahasia<br />Mamoto : Penjelasan<br />Mamuaya : Pemberi<br />Mamuntu : Mencapai puncak<br />Mamusung : Penangkal<br />Manalu : Ditingkatkan<br />Manampiring : Membuat jalan<br />Manangkod : Menahan musuh<br />Manapa : Pertanyaan<br />Manarisip : Membetulkan<br />Manaroinsong: Sumber air<br />Manayang : Pergi jauh<br />Mandagi : Menghiasi bunga<br />Mandang : Melambung tinggi<br />Mandey : Pandai<br />Manebu : Dewa peninjau<br />Manese : Bertindak dahulu<br />Mangare : Minta dibujuk<br />Mangempis : Merendahkan diri<br />Mangindaan : Tahan uji<br />Mangkey : Angkat<br />Mangowal : Pemancung<br />Mangundap : Berbahaya<br />Manimporok : Ke puncak<br />Manopo : Bersama datuk (opo)<br />Manorek : Mengganggu<br />Mantik : Meneliti/menulis<br />Mantiri : Pembuat benda halus<br />Mantoauw : Nubuat<br />Manua : Negeri<br />Manurip : Menyisip<br />Manus : Taruhan<br />Mapaliey : Menakuti musuh<br />Maramis : Menggenapi<br />Marentek : Tukang besi<br />Maringka : Berkekuatan<br />Masie : Tumbuhan obat<br />Masinambau : Tujuan pasti<br />Masing : Bergaram<br />Masoko : Pokok<br />Matindas : Ramping<br />Maukar : Menjaga<br />Mawei : Pembimbing<br />Maweru : Pembaharu<br />Mawikere : Teladan<br />Mawuntu : Kedudukan tinggi<br />Mekel : Lindungi<br />Mema : Berbuat<br />Mende : Pemalu<br />Mendur : Berguntur<br />Mengko : Teka-teki<br />Mentang : Pemutus<br />Mentu : Rasa<br />Mesak : Pendesak<br />Mewengkang : Pembuka jalan<br />Mewoh : Lemah lembut<br />Mince : Main<br />Mincelungan : Main perisai<br />Minder : Menderu<br />Mingkid : Pemberi acuan/konsep<br />Mogot : Penebus<br />Mokalu : Bersaudara<br />Mokolensang : Berdiam diri<br />Mokorimban : Pemberani<br />Momongan : Pemilik<br />Momor : Persatuan yang baik<br />Momuat : Pengurus jamuan<br />Mondigir : Meratakan<br />Mondong : Menyembunyikan<br />Mondoringin : Meratakan jalan<br />Mondou : Berangkat pagi<br />Mongi : Kuat kekar<br />Mongilala : Pengusir musuh<br />Mongisidi : Saksi dan bukti<br />Mongkaren : Membongkar<br />Mongkau : Mencari emas<br />Mongkol : Mematung<br />Mongula : Pemohon berkat<br />Moniaga : Kebesaran<br />Moninca : Pembuah ramai<br />Moningka : Penambah tenaga<br />Moniung : Menangis kecil<br />Mononimbar : Suka memberi<br />Mononutu : Pekerja tekun<br />Montolalu : Pembagi tugas<br />Montong : Pembawa<br />Montung : Pengangkat<br />Motto : Jelas<br />Muaya : Berani<br />Mudeng : Berdengung jauh<br />Mukuan : Mempunyai buku<br />Mumek : Penyelidik<br />Mumu : Simpanan cukup<br />Mundung : Bernaung<br />Muntu : Gunung<br />Muntu untu : Gunung bersusun<br />Muntuan : Ke gunung<br />Musak : Didesak<br />Mussu : Penjaga setia<br /><br />N<br />Nangka : Diangkat<br />Nangon : Diangkat<br />Nangoy : Dipikul<br />Naray : Jimat<br />Nayoan : Diberi berkat<br />Nelwan : Tempat terbang<br />Nender : Gerakan<br />Ngala : Dirintangi<br />Ngangi : Di hati<br />Ngantung : Ditimbulkan<br />Ngayouw : Dimajukan<br />Ngion : Diperoleh<br /><br />O<br />Ogi : Goyang<br />Ogot : Hakimi<br />Ogotan : Kena dendam<br />Oleng : Pikulan<br />Oley : Teladan<br />Ombeng : Kelebihan<br />Ombu : Cetakan rupa<br />Ompi : Tertutuo<br />Ondang : Pedang<br />Onsu : Jimat<br />Opit : Jepitan<br />Oroh : Perselisihan<br />Otay : Bertawakal<br /><br />P<br />Paat : Pengangkat<br />Pai : Besar<br />Paila : Cukup besar<br />Pakasi : Pemberian<br />Palangiten : Sinar matahari<br />Palar : Tapak tangan<br />Palenewen : Dibenamkan<br />Palenteng : Peniup<br />Palilingan : Nasehat baik<br />Palit : Bekas luka<br />Panambunan : Timbunan besar<br />Panda : Pinter<br />Pandean : Amat pandai<br />Pandelaki : Pemegang bibit<br />Pandey : Pinter, pandai<br />Pandi : Penghancur<br />Pandong : Tenaga kuat<br />Pangalila : Berlebihan<br />Pangau : Jauh kedalam<br />Pangemanan : Dipercaya<br />Pangila : Berlebihan<br />Pangkerego : Suara nyaring<br />Pangkey : Diangkat<br />Pantonuwu : Tegas<br />Pantouw : Penolong bijaksana<br />Parengkuan : Kepala jimat<br />Paruntu : Tempat ketinggian<br />Paseki : Pengikat<br />Pasla : Tepat tujuan<br />Pauner : Tengah<br />Pele : Jimat<br />Pelengkahu : Emas tulen<br />Pendang : Pengajar<br />Pepah : Lemah lembut<br />Pesik : Pancaran bara<br />Pesot : Cekatan<br />Piay : Biasa<br />Pinangkaan : Tempat yang tinggi<br />Pinantik : Ditulis<br />Pinaria : Hubungan erat<br />Pinontoan : Menunggu<br />Pioh : Cucu<br />Piri : Semua satu<br />Pitong : Memungut<br />Pitoy : Diikuti<br />Podung : Dijunjung<br />Pola : Pengajak<br />Poli : Tempat suci<br />Polii : Pelita<br />Polimpong : Didewakan<br />Politon : Gembira selalu<br />Poluakan : Air berkumpul<br />Pomantouw : Penubuat<br />Ponamon : Pengasih<br />Pondaag : Pendamai<br />Pongayouw : Penghulu perang<br />Ponggawa : Pemberani<br />Pongilatan : Berkilat<br />Pongoh : Berisi padat<br />Ponosingon : Terbang<br />Pontoan : Menunggu<br />Pontoan : Menunggu<br />Pontoh : Pendek<br />Pontororing : Bercahaya<br />Poraweouw : Penunjukan<br />Porayouw : Perenang<br />Porong : Tudung kepala<br />Posumah : Pembagi<br />Potu : Tekun<br />Poyouw : Yang diberikan<br />Pua : Buah<br />Pungus : Pengawas<br />Punuh : Orang terdahulu<br />Purukan : Punya kedudukan<br />Pusung : Penangkal serangan<br />Putong : Penyelidik<br /><br />R<br />Raintung : Daun bergerigi<br />Rambi : Bunyi merdu<br />Rambing : Bunyi suara merdu<br />Rambitan : Tambahan bunyi<br />Rampangilei : Kembar bersih<br />Rampen : Kelebihan<br />Rampengan : Berkelebihan<br />Ransun : Bawang<br />Ranti : Pedang<br />Rantung : Terapung<br />Raranta : Naik tangga<br />Rares : Sehat<br />Rarun : Sudah tua<br />Rasu : Penyimpan<br />Ratag : Terlepas<br />Ratu : Batu jumat<br />Ratulangi : Jimat dari langit<br />Ratumbuisang: Batu berbintik<br />Ratuwalangaouw: Batu berantai<br />Ratuwalangon: Batu panjang<br />Ratuwandang : Batu merah<br />Rau : Jauh<br />Rauta : Dewata<br />Regar : Bebas<br />Rei : Bebas celaka<br />Rembang : Burung rawa<br />Rembet : Berpegang teguh<br />Rempas : Memasak<br />Rengku : Tundukan<br />Rengkuan : Ditunduki<br />Rengkung : Dihormati<br />Repi : Pemikir<br />Retor : Penghalang<br />Rimper : Potong rata<br />Rindengan : Bergerigi<br />Rindengan : Sama-sama<br />Rindo-rindo : Suara gemuruh<br />Robot : Lebih<br />Rogahang : Berkeringat<br />Rogi : Banyak bicara<br />Rolangon : Berantai<br />Rolos : Kepala<br />Rombot : Dilebihi<br />Rompas : Penyimpan rahasia<br />Rompis : Pekerja baik/rukun<br />Rondo : Lurus<br />Rondonuwu : Bicara lurus<br />Rooro : Penggerak<br />Rori : Dihormati<br />Rorimpandey : Sempurna<br />Roring : Kemuliaan<br />Rorintulus : Cahaya<br />Rosok : Tepat<br />Ruaw : Bulan purnama<br />Ruidengan : Bersama<br />Rumagit : Menyambar<br />Rumambi : Membunyikan<br />Rumampen : Jadi satu<br />Rumampuk : Memutuskan<br />Rumayar : Mengibarkan<br />Rumbay : Tidak perduli<br />Rumende : Mendekati<br />Rumengan : Sejaman<br />Rumenser : Tetesan air<br />Rumimpunu : Yang dimuka<br />Rumincap : Berhati baik<br />Rumokoy : Membangunkan<br />Rumpesak : Kedudukan<br />Runturambi : Kehormatan<br /><br />S<br />Salangka : Benda persembahan<br />Salendu : Banyak ide<br />Sambouw : Bunga kayu<br />Sambuaga : Bunga kayu cempaka<br />Sambul : Berlimpah<br />Sambur : Melimpah<br />Samola : Membesar<br />Sangkaeng : Paras kecil<br />Sangkal : Satu paras<br />Sarapung : Perkasa<br />Saraun : Sepintas remaja<br />Sarayar : Buka jemuran<br />Sariowan : Pelancong<br />Sarundayang : Pengiring<br />Saul : Lengah<br />Seke : Perorangan<br />Seko : Sentakan<br />Sembel : Penuh<br />Sembung : Bunga<br />Semeke : Tertawa<br />Senduk : Senang<br />Sengke : Guling<br />Sengkey : Pengguling<br />Senouw : Cepat<br />Sepang : Cabang jalan<br />Sigar : Kaya<br />Sigarlaki : Kekayaan<br />Simbar : Terbuang<br />Simbawa : Banyak kemauan<br />Sinaulan : Penasehat<br />Singal : Perintang musuh<br />Singkoh : Dibatasi<br />Sinolungan : Memprakarsai<br />Sirang : Potongan<br />Siwu : Penghancur musuh<br />Siwy : Siulan<br />Solang : Pedang<br />Somba : Pelindung<br />Sompi : Penyimpan rahasia<br />Sompotan : Meluputkan<br />Sondakh : Pengawas<br />Soputan : Letusan<br />Sorongan : Bergeser<br />Suak : Kepala<br />Sualang : Karunia<br />Suatan : Pengharapan<br />Sumaiku : Panjang idenya<br />Sumakud : Menewaskan<br />Sumakul : Menewaskan<br />Sumangkud : Terikat<br />Sumanti : Mempergunakan<br />Sumarandak : Gemerincing<br />Sumarauw : Pendidik<br />Sumele : Pembatas<br />Sumendap : Menyinari<br />Sumesei : Pengawas<br />Sumilat : Mengangkat<br />Sumlang : Main pedang<br />Sumolang : Memainkan pedang<br />Sumual : Memiliki kelebihan<br />Sumuan : Mengesahkan<br />Sundah : Tidak menetap<br />Sungkudon : Buah persembahan<br />Suot : Puas<br />Supit : Menjepit musuh<br />Surentu : Banyak bicara<br />Suwu : Serbu<br /><br />T<br />Taas : Kuat<br />Tairas : Terangkat dari dalam<br />Talumepa : Berjalan didaratan<br />Talumewo : Perusak<br />Tambahani : Senang bersih<br />Tambalean : Menuju Barat<br />Tambarici : Dibelakang<br />Tambariki : Dibelakang<br />Tambayong : Gemar kekayaan<br />Tambengi : Amat cepat<br />Tambingon : Keliling<br />Tamboto : Menghias kepala<br />Tambun : Timbun<br />Tambunan : Timbunan<br />Tambuntuan : Puncak tinggi<br />Tambuwun : Menandingi<br />Tamon : Disayangi<br />Tampa : Bunga<br />Tampanatu : Bunga api<br />Tampanguma : Bunga mekar<br />Tampemawa : Turun kelembah<br />Tampemawa : Turun kelembah<br />Tampenawas : Memotong daun<br />Tampi : Setia<br />Tampinongkol: Suka berkelahi<br />Tandayu : Pemuji<br />Tangka : Amat tinggi<br />Tangkere : Teladan<br />Tangkow : Nyanyian<br />Tangkudung : Perisai pelindung<br />Tangkulung : Perisai pelinding<br />Tanod : Tambu<br />Tanor : Tambur<br />Tanos : Teratur<br />Tarandung : Jalan<br />Taroreh : Diangkat<br />Taulu : Dijunjung<br />Tawas : Penawar mujarab<br />Tendean : Tempat berpijak<br />Tengges : Tempat memasak<br />Tenggor : Menghilang<br />Tengker : Bergemuruh<br />Terok : Pedagang keliling<br />Tidayoh : Senang dihormati<br />Tiendas : Berkurang<br />Tikoalu : Penakluk<br />Tikonuwu : Pandai bicara<br />Tilaar : Kerinduan<br />Timbuleng : Pemikul<br />Timpal : Persekutuan<br />Tinangon : Terangkat<br />Tindengen : Pemalu<br />Tintingon : Melambung<br />Tirayoh : Senang dihormati<br />Tiwa : Menaiki puncak<br />Tiwow : Berniat<br />Toalu : Didepan<br />Todar : Bertahan<br />Togas : Pantang surut<br />Tololiu : Penghambat<br />Tombeng : Secepat angin<br />Tombokan : Berkelebihan<br />Tombokan : Pemukul akhir<br />Tompodung : Dijunjung<br />Tompunu : Membuyarkan musuh<br />Tongkeles : Percepat<br />Tooi : Pengikut<br />Torar : Biasa matahari<br />Torek : Berkekurangan<br />Towo : Dari atas<br />Tuegeh : Tumpukan<br />Tuera : Perintah<br />Tulandi : Pemecah batu<br />Tular : Penasehat<br />Tulenan : Tetap tolong<br />Tulung : Pandai menolong<br />Tulus : Penengah<br />Tulusan : Menengahi<br />Tumanduk : Pelindung<br />Tumangkeng : Merombak<br />Tumatar : Kebiasaan<br />Tumbei : Berkat<br />Tumbelaka : Diberkati<br />Tumbol : Penopang<br />Tumbuan : Kaya<br />Tumembouw : Berteman<br />Tumengkol : Penahan<br />Tumewu : Melenyapkan<br />Tumilaar : Yang dirindukan<br />Tumilesar : Telentang<br />Tumimomor : Tempat yang baik<br />Tumiwa : Ingatan<br />Tumiwang : Mengingat<br />Tumober : Hadiah<br />Tumondo : Tujuan pasti<br />Tumonggor : Disiapkan<br />Tumundo : Pembawa terang<br />Tumurang : Pemberi bibit<br />Tumuyu : Yang dituju<br />Tunas : Asli<br />Tundalangi : Tatapan dari langit<br />Tungka : Terangkat<br />Turang : Menopang<br />Turangan : Berkelebihan<br />Tuwaidan : Lengkap<br />Tuyu : Penunjuk<br />Tuyuwale : Menuju rumah<br /><br />U<br />Uguy : Pembawa rejeki<br />Ukus : Kurang gemuk<br />Ulaan : Ditakuti<br />Umbas : Kuat bersih<br />Umboh : Penolak bahaya<br />Umpel : Menyenangkan<br />Undap : Cahaya sinar<br />Unsulangi : Diatas<br />Untu : Gunung<br /><br />W<br />Waani : Pahlawan<br />Wagei : Tertarik<br />Wagiu : Cantik/rupawan<br />Waha : Bara api<br />Wahon : Moga-moga<br />Wakari : Teman serumah<br />Wala : Cahaya<br />Walalangi : Cahaya dari langit<br />Walanda : Cahaya berlalu<br />Walandouw : Cahaya siang<br />Walangitan : Cahaya kilat<br />Walean : Komplek rumah<br />Walebangko : Rumah besar<br />Walelang : Rumah tinggi<br />Waleleng : Rumah tersendiri<br />Walian : Dukun<br />Walintukan : Taufan<br />Waluyan : Lewat<br />Wanei : Prajurit<br />Wangania : Buat sekarang<br />Wangko : Besar<br />Wantah : Patokan<br />Wantania : Patokan tetap<br />Wantasen : Yang jadi patokan<br />Wariki : Pendidik<br />Watah : Berani<br />Watti : Nubut<br />Watugigir : Batu licin<br />Watuna : Biji bersih<br />Watung : Timbul terus<br />Watupongoh : Teguh<br />Waturandang : Batu merah<br />Watuseke : Berani<br />Wauran : Cabut pilihan<br />Wawoh : Ketinggian<br />Wawointama : Cita-cita tinggi<br />Wawolangi : Di ketinggian<br />Wawolumaya : Diatas puncak<br />Waworuntu : Diatas gunung<br />Weku : Penasehat<br />Welong : Kurang daya<br />Welong : Pemikul<br />Wenas : Penyembuh<br />Wenur : Persembahan<br />Weol : Penasehat<br />Wetik : Berperan<br />Wilar : Pembuka<br />Winerungan : Menghiasi<br />Winokan : Men coba<br />Woimbon : Bercahaya<br />Wokas : Penyelidik<br />Wola : Cahaya<br />Wondal : Jimat<br />Wongkar : Membangun<br />Wonok : Peruntuk<br />Wonte : Kuat teguh<br />Wooy : Hujan rahmat<br />Worang : Kuat ikatan<br />Worotikan : Pancarana api<br />Wotulo : Pembersih<br />Wowilang : Pendorong<br />Wowor : Obat kesohor<br />Wuisan : Pengusir<br />Wuisang : Mengusir<br />Wulur : Puncak<br />Wungkana : Gelang jimat<br />Wungow : Bicara seenaknya<br />Wuntu : Gunung<br />Wurangian : Pemarah<br />Wuwung : Kelebihan<br />Wuwungan : Diatas atap<br /><br />Oleh : - W.J Pangemanan<br /><br />Tambahan informasi dari Heinrich Warouw.<br />WAROUW = Keberanian, Penghalau Serangan, Pereda Hawa Nafsu.<br />Sumber: http://www.kabardariopa.blogspot.com/<br /><br />Ada yang lain mau menambahkan?

MINAHASA Arti Fam Orang Manado

Buat orang Manado, dalam hal ini suku besar Minahasa, fam (family-name) mewakili jati diri, citra, dan bahkan martabat serta harga diri. Fam...

Read more

Asal Nama Minahasa

Johan H. Pangemanan adalah redaktur harian bahasa Melayu, "Pos Jawa-Tengah" di Semarang. Keturunan Kawanua ini gundah karena memikirkan anak-anak militer turunan Minahasa yang terlantar di tanah Jawa. Kala itu Pangemanan tengah memikirkan tempat penampungan untuk mereka ini, dan berniat untuk membentuk suatu lembaga atau organisasi penampungan. Ide filantropis berkembang dan bukan hanya pada anak-anak terlantar, tetapi juga para pelajar yang sedang menuntut ilmu tetapi belum ada pemondokan. Lembaga ini juga berusaha menampung lapangan kerja bagi anak-anak muda yang sudah lulus perguruan-tinggi tetapi belum mendapat pekerjaan di tanah Jawa.<br /><br />Muncul dibenak untuk menamakan organisasi ini dengan sebutan Roekoen Minahasa. Sebutan Minahasa diambil karena istilah yang menjadi nama suku-bangsa tenggelam dipermukaan. Dan orang asal daerah di Sulawesi-Utara lebih menonjol dengan sebutan "Hollanda Manado" bagi suku Minahasa diperantauan. Padahal Manado adalah nama kota dan bukan suku-bangsa. Selain itu sebutan tanah Minahasa di juluki sebagai "De Twaalfde Provintie van Nederland." Faktor-faktor ini tidak disenangi masyarakat intelektual Minahasa yang gandrung pada nama Minahasa sebagai bagian dari proses kebangkitan identitas diri bagi turunan asal Sulawesi Utara. Disepakati untuk memunculkan nama Minahasa dengan sasaran untuk membangkitkan kembali rasa ikatan kesatuan untuk kemajuan sesama Kawanua perantauan. Untuk itu didirikan organisasi Roekoen Minahasa pada bulan Agustus 1912 di kota Semarang.<br /><br />Di tahun 1994, Capt. Billy Matindas (Alm.) memberikan buku, "Minahasa: Sejarah dan Derap Langkahnya Menuju Kemerdekaan Indonesia" yang disusun oleh H.B.Palar dan L.A.Anes (terbitan Tarsius, 1994). "Ngana boleh pake buku ini voor referensi," ujar Billy sambil menyodorkan buku sampul merah ini. Dari buku ini terungkap bahwa nama Minahasa adalah sebutan dari hasil ikatan kebhinekaan beberapa unsur ethnis dan sub-ethnis internal maupun eksternal dengan latar belakang asal-usul serta karakter yang berbeda. Penyatuan itu muncul sebagai akibat dari konflik diantara para penghuni yang merugikan satu sama lain sementara daratan Sulawesi Utara terancam penetrasi luar.<br /><br />Para paderi Spanyol menamakan "orang-orang gunung" (dalam bahasa Belanda: Bovenlanders) ini dengan sebutan "Batasaina" (diambil dari kata Wata'esa ene, bahasa gunung) yang di artikan dengan masyarakat yang diikat, dipersatukan dan di jiwai oleh keseia-sekataan, kesetiakawanan, loyalitas dan solidaritas, pendapat Pastor Blas Palomino OFM. Minahasa merupakan ikatan kesatuan dari kelompok-kelompok republik (dorp republieken). Sementara Dr. P.J. Bouman berpendapat bahwa masyarakat Batasaina adalah masyarakat hitrogen dan menganut faham kolektif individualis. Namun begitu, mereka mengenal dan memiliki satu lembaga tertinggi, yang anggota-anggotanya adalah wakil-wakil yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui proses demokrasi dengan persyaratan, "si enteh, wuaya wo siga = yang kuat, berani dan bijaksana.” Lembaga ini disebut "Dewan Wali Pakasaan," dan oleh Belanda disebut "Raad der Dorpshoofden." Lambat laun Batasaina mulai mendapat nama baru dan pada akhirnya dikenal dengan sebutan "Minahasa," yang oleh Kompeni Belanda dinilai sebagai "Dorp Republiek" ukuran kecil.<br /><br />Penyatuan dengan sebutan Minahasa ini mengingatkan kita pada masyarakat Jepang yang termotivasi menghadapi ancaman kekuatan luar. Mereka ini mengibaratkan sebagai anak-anak ayam yang kehilangan induk dan harus berada di satu kandang. Siapapun yang ada di luar akan dilahap oleh naga (Cina) atau beruang (Rusia).<br /><br />Peristiwa penyatuan Minahasa yang kemudian menjadi identitas suku-bangsa diperkirakan terjadi di abad ke-XVI, ketika wilayah mereka terancam oleh invasi luar. Ketika itu kesultanan Ternate yang ingin merebut dan mengklaim Minahasa sebagai wilayah fazalnya, karena memiliki asset ekonomi potensial. Bahkan daerah yang subur ini juga pernah di klaim oleh kesultanan Makassar. Tetapi berhasil dihalau oleh "perang kabasaran" orang-orang Gunung. Pada buku "A History of South-east Asia," (edisi IV, 1988) tulisan D.G.E. Hall menulis bahwa Minahasa mulai mengenal kolonialisme Barat justru oleh kedua kesultanan itu untuk "menjinakkan" orang-orang gunung. Portugis masuk daerah ini atas ajakan kesultanan Ternate. Cara serupa juga dilakukan kesultanan Makassar menggunakan kekuatan Spanyol. Baik Portugis maupun Spanyol gagal menjinakkan "orang-orang gunung" ini. Yang di lakukan kedua negeri yang kemudian bergabung menjadi kesatuan Hispanik dibawah kerajaan Spanyol (1850) tidak melakukan pendekatan melalui tekanan pedang dan mariam, seperti biasanya dilakukan terhadap negeri-negeri lain, tetapi melalui diplomasi budaya dan agama. Sebaliknya, cara pendekatan ini digunakan oleh masyarakat untuk keluar dari keterkucilan dunia luar. Dengan motivasi, menguasai budaya, hukum dan pendidikan "Barbar," menjadi senjata untuk melawan "Barbar." Cara ini mirip semboyan "Sonno Joy," dari Jepang, "Melawan Barbar dengan menggunakan senjata Barbar," ketika mengembangkan program Restorasi Meiji di tahun 1860an menuju modernisasi Jepang. Sebagai hasilnya, proses "transformasi kultural" terhadap pendidikan westernisasi digunakan masyarakat Minahasa untuk membuka diri dan dapat berantisipasi dengan trend global yang berkembang tanpa menghilangkan identitas ke Minahasaannya.<br /><br />Motivasi Minahasa memiliki kejuangan identitas hingga masyarakat ini tidak merasa terjajah. Ambil contoh ketika pihak Kompeni VOC melakukan pendekatan dengan masyarakat Minahasa juga bukan dengan tekanan militer. Bahkan terbentuk pakta keamanan bersama antara Dewan Wali Pakasaan dengan Belanda. Hal ini ditandai dengan pada perjanjian 10 Januari 1679, yang secara implisit Belanda mengakui eksisteni Masyarakat Minahasa dan mempunyai kedudukan sama tinggi dengan Belanda: Merdeka dan Berdaulat.<br /><br />Sejarah Minahasa memiliki pasang-surut memang amat unik, tetapi banyak yang tidak memahami dan mengenal, terutama generasi "Baby Boomer" keatas. Hal ini terjadi, karena "text Book" sejarah nasional hanya dimanfaatkan oleh kepentingan kepemimpinan rezim melakukan "cuci otak" guna mempertahankan supremasi premordial dan juga supremasi sektarian asal dari pemimpin atau kelompok yang menguasai rezim. Akibatnya, nilai kesejarahan mengalami pembiasan karena melulu hanya pada kepentingan budaya homogen secara sepihak akan merugikan bangsa yang terdiri dari berbagai suku-bangsa yang kaya dengan aneka ragam budaya dan memiliki sejarahnya. Tetapi yang terakhir ini, cenderung terhapus oleh egoisme rezim. Tetapi roda bumi itu berputar dan tidak dapat dihentikan oleh ruang-waktu, sejarah pun akan kembali, dan walau apapun yang dilakukan, tetapi identitas sejarah itu tetap saja akan muncul dipermukaan oleh tingkat kesadaran bagi mereka yang ingin mendalami identitas untuk diketahui oleh dan digali oleh generasi mendatang untuk memiliki dan memahami kebenaran dari sejarah itu. Sejarah itu menjadi motivasi dan obsesi bagi generasi penerus menghadapi masa datang yang penuh tantangan. Itulah fungsi sejarah.

MINAHASA Asal Nama Minahasa

Johan H. Pangemanan adalah redaktur harian bahasa Melayu, "Pos Jawa-Tengah" di Semarang. Keturunan Kawanua ini gundah karena memik...

Read more

Cerita Rakyat Minahasa Toar dan Lumimu'ut

Kita banyak mendengar ceritera rakyat Minahasa <span style="font-weight: bold;">TOAR-LUMIMUUT</span> tapi kita kadang tidak mengetahui asal mula ceritera itu dan bagaimana orang Minahasa dari generasi ke generasi tetap mengetahui jalannya ceritera tersebut. Ceritera ini termasuk MYTHOS ( Mite) karena pada jaman lampau orang <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span> menganggap ceritera ini suci dan tidak sebarang di kisahkan, ceritera ini hanya dapat di nyanyikan pada upacara kusus seperti upacara RUMAGES asal kata "reges" artinya angin ataupun upacara MANGORAI, walau kisahnya sama tapi jalan ceriteranya berbeda. Ceritera MYTHOS berbeda dengan LAGENDA yang disebut terahir tidak di anggap suci karena tokoh utama sebuah lagenda hanya berstatus manusia setengah dewa, walaupun kelak setelah leluhur lagendaris itu lama meninggal barulah leluhur itu menjadi dewa.<br /><br />Ceritera <span style="font-weight: bold;">TOAR-LUMIMUUT</span> yang paling lengkap dan yang terbaik kita ambil dari buku " Uit Onze Kolonien" tulisan.H.Van Kol.terbitan thn 1903.halaman.160-165 dalam bahasa Tombulu " De Zang van Karema" ( nyanyian dewi Karema), seperti di kitahui dewa-dewi <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit; font-weight: bold;">TOAR </span><span style="font-weight: bold;">- LUMIMUUT</span> adalah leluhur pertama orang <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span>, kedua manusia pertama orang <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span> yang menurunkan seluruh orang <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span> itu ,telah dikawinkan oleh seorang dewi yang bernama <span style="font-weight: bold;">KAREMA</span> berwujud wanita tua. <span style="font-weight: bold;">KAREMA</span>, <span style="font-weight: bold;">LUMIMUUT</span> dan <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit;"><span style="font-weight: bold;">TOAR</span> </span>adalah dewa-dewi leluhur pertama orang <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span>, sebelum mereka ada juga beberapa nama leluhur lainnya, tapi semua leluhur lainnya itu telah mati tenggelam ketika pada jaman purba terjadi banjir besar AMPUHAN atau DIMENEW yang membuat seluruh tanah <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span> terbenam air kecuali satu puncak pegunungan wulur Mahatus di <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span> selatan, demikianlah menurut ceritera mithos Minahasa, dan ceritera dibawah ini dimulai ketika banjir besar itu telah berlalu. Dinyanyikan oleh seorang wanita tua dalam jabatannya sebagai WALIAN TUA (pemimpin Walian) pada upacara RUMAGES, wanita tua itu akan berperan sebagai Dewi-Karema. Setiap satu syair dinyanyikan, maka penari " Maengket Katuakan" akan menyambut dengan menyanyikan bahagian refrein...."Eeeeh Rambi-rambian" artinya " bunyikanlah gong perunggu" ( Rambi = gong perunggu), nyanyi- an itu adalah sebagai berikut, mulai syair pertama yang langsung diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia , dari ceritera inilah sumber utama MINAHASANOLOGI mengernai agama asli, kepercayaan, seni budaya, dan adat kebiasaan orang <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span>.<br /><br />--------------------------<br />SYAIR PERTAMA :<br /><br />Oooh Talingan nio untenge minatontonai …….Eeeeh Rambi-rambian.<br />artinya :wahai dengarkanlah ceritera yang telah di turunkan…….bunyikanlah gong<br />Si minatontonai wanam puruk u langit ………. Eeeeeh Rambi-rambian<br />Artinya: ceritera yang telah diturunkan dari atas langit………….bunyikanlah gong<br />Si zei^kan meilengkaz, wo mawia-me dungus intanak…Eeeh rambi-rambian<br />Artinya ; Dia ( Karema) tidak dilahirkan ketika datang dan ada di muka bumi..bunyikan gong<br />Si karengan nimatoume, mei kolote um batu …..Eeeeh rambi-rambian<br />Artinya ; Dia (Karema) lahir bersama-sama dengan batu yang meletus….bunyikan gong<br /><br /><br />TULISAN BERIKUTNYA, REFREIN LAGU RAMBI-RAMBIAN TIDAK DITULIS LAGI,AGAR LEBIH MUDAH MENGIKUTI JALAN CERITERANYA.<br /><br /><br />SYAIR KEDUA :<br /><br />Niakumo si mahawe^ena^ase , yah wiamo angka^aya^an<br />Artinya: Sayalah pemberi ingatan kesadaran berpikir, dan saya telah ada didunia ini.<br />Yah werenanku an tanak, leme^ loyo kampe<br />Artinya: Aku lihat tanah permukaan bumi masih lembut berlumpur(karena banjir besar )<br />Si suatan ma^ra^ar , sumena-sena^<br />Artinya : Tapi bersama itu sinar matahari bercahaya terang<br />Ta^an kangkasi^I , umpele-peleng zima^I – za^I<br />Artinya : Tetapi juga kesemuanya itu terasa menyenangkan<br /><br /><br />SYAIR KETIGA:<br /><br />Wo Aku sumaru , sendangan timu<br />Artinya ; lalu aku menghadap arah tenggara<br />Yah, sinumpak um berenku , un Akel Matutung<br />Artinya : Mataku dihadang oleh pemandangan sebatang pohon Aren (pohong saguer)<br />Yah , Tumarak-tak , an tali watu ma^ragos<br />Artinya : Dan terdengar bunyi gemeretak, buah pohon Aren jatuh ketanah<br />Wo ni^ilek-ku tawi ni^itu, sumo^so^ane me-ngasin<br />Artinya; Dan kulihat dekat pohon itu, ada sungai yang airnya mengalir kelaut<br /><br /><br />SYAIR KEEMPAT :<br /><br />Wo mawiling Aku , sumaru sendangan Amian<br />Artinya: Lalu aku memutarkan badan menghadap arah timur laut<br />Yah , kina patesanku , un Asa retik<br />Artinya : dan perhatianku tertuju pada pohon “Asa” (kano-kano, jelaga)<br />Yah ma^tou karete ni^itu , un Tu^is Rarawir<br />Artinya : Dan yang bertumbuh dekat itu adalah pohon T u ^ I s (Jenis pohon batang Lembut )<br />Wo rimuru^ ma^wire-wirei , u la^it um bene^<br />Artinya ; dan yang dipojok itu nampak melambai adalah pohon “ daong nasi “<br /><br /><br />SYAIR KELIMA :<br /><br />Tumondong Aku mapa-saru , Amian talikuzan<br />Artinya : Kemudian itu aku menghadap arah Barat laut<br />Yah , kina werenanku witu , um-Bangelei ne Kotulus<br />Artinya : Dan nampak olehku, tanaman obat “Wangelei” ( Tumulawak)<br />Yah Karuru^ karete ni^itu , um Bawali Kundamah<br />Artinya ; Dan dipojok dekat situ , ada tanaman “ Wawali Kundamah” (pohon Kencur)<br />Yah minalung ni^itu , un Tewasen ne Rumopa<br />Artinya ; Dan pohon yang menaungi tempoat itu adalah pohon “ Tewasen”<br />(pohon katu)Yang batangnya menghasilkan sagu .<br /><br /><br />SYAIR KE-ENAM :<br /><br />Kamurian Aku mapasaru , Timu^ talikuzan<br />Artinya : kemudian aku menghadap arah , barat daya<br />Yah, kapatesanku ma-witu , un Ayamen ka^ukur<br />Artinya ; Dan pandanganku tertumbuk pada pohon “Ayamen” (Silar, daun tikar)<br />Yah sana remong witu , un-Tambelang Tumitikak<br />Artinya : Dan satu rumpun dengan itu, adalah pohon bambu “ Tambelang”(bulu ikang)<br />Ta^an un antang witu nate Si Raraha, menorome niaku<br />Artinya :Tapi (dari arah itu), hati dan kemauan si gadis (Lumimu^ut) sudah teguh dan dia berjalan lurus ke-arah saya ( Karema).<br /><br /><br />SYAIR KE-TUJUH :<br /><br />Liwaganku sia , sa apa u ngarana<br />Artinya : Aku bertanya kepadanya , siapakah namanya<br />Yah Ongah u nuwu^na mingkot sia , <span style="font-weight: bold;">LUMIMU^UT</span> u ngaranku<br />Artinya: Dan dengan jelas di menjawab pertanyaan saya bahwa namanya <span style="font-weight: bold;">LUMIMU^UT</span><br />Yah tentu kang-kasi^I, Sia Limiwaga u ngaranku<br />Artinya ; Dan begitu juga lagi dia (Lumimuut) menanyakan nama saya.<br />Wo Totozenku u ngaranku , KAREMA ne Rumarages<br />Artinya ; Lalu aku tegaskan nama saya : KAREMA pendeta upacara agama “Rumages” .<br /><br /><br />SYAIR -DELAPAN :<br /><br />Witu kai ma^esa^an sana zizikezan, tu le^os wo u lewo<br />Artinya ; Mulai waktu itu kita bersatu saling terikat dalam suka mapun dalam duka<br />Yah sanawali mo kai, I minange witu Mapawe^a-we^an<br />Artinya ; Dan bersama-sama kita pergi ke-tempat tinggal kita<br />In toro-itu , kai Timou mina^elu-eluzan mahwatu<br />Artinya : waktu itu kita berdua hidup berkasih-kasihan dan menyatu<br />Yah , witu kai lawiz , wo zei^kazei^an<br />Artinya : Dan disitulah kita hidup diberkati dan senantiasa berkecukupan<br /><br /><br />SYAIR KE-SEMBILAN:<br /><br />Pina^aleiku wia nisia , Wehane A^asaren Aku<br />Artinya; Aku (karema) mintakan kepadanya , berikanlah ceritera kepadaku<br />Sa sei si Ama^na , wo sei si Ina^na<br />Artinya: Kalau siapa Ayah-nya dan siapakah Ibunya<br />Sa kura u lalana, angika ayome wia<br />Artinya : Dan bagaimana caranya, hinga dapat tiba disini (di <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span>)<br />Wo kura um pa’az-na, in Tumou wia<br />Artinya : Dan bagaimana keinginannya, hidup disini (di <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span>)<br /><br /><br />SYAIR KE-SEPULUH :<br /><br />Yah ongah u nuwuk’ku ing kumua wia ni sia<br />Artinya : Dengan jelas aku berkata kepada-nya (Karema)<br />Wewe’an un Aoan nah-gio-gioan, ang kenap-sena’na<br />Artinya : Ada bukit-bukit yang berhadap-hadapan, yang terang dengan cahaya<br />Ni itu ya tanu lalem-lalemdeman, wo tanu zuni-zuni’an<br />Artinya : Tempat itu nampak seperti berkabut awan, dengan warna seperti pelangi<br />Ya wituma un Arina, Linengkaran niaku<br />Artinya : Disanalah tempatnya, aku dilahirkan<br /><br /><br />SYAIR KE-SEBELAS :<br /><br />U ngaran nei ketor um pusez ni Inaku-ku en WENGI<br />Artinya : Nama ketika tali pusar dipotong dari ibu adalah WENGI<br />Yah si Ama’ku ka’uman, wen KAWENGIAN u ngaranan<br />Artinya : Dan ayahku, bernama Kawengian<br />Ni Sera se timau’ niaku, witu um bantang<br />Artinya : Mereka (Ibu dan Ayahku) yang memasukkan aku dalam perahu-rakit<br />Ni sera se nimayome niaku, witu u louz<br />Artinya : Mereka (Ibu dan Ayahku), yang telah mengayunkan ke-laut.<br /><br /><br />SYAIR KE-DUABELAS:<br /><br />Si Ina’ku si Simi’si’me, witung kikile’ku kakan<br />Artinya : Ibuku telah menyelipkan, pada ketiak-ku sebelah kanan<br />Un Sinaputan, an ipa’pespes, wo un Atelu’ Esa<br />Artinya : Satu Bungkusan disemaikan, dan satu butir telur<br />Si Ama’ku Ka’ uman si simipsipe, witung Kawi’i<br />Artinya : Dan Ayah-ku telah menyisipkan, di (ketiak-ku) sebelah kiri<br />Un Uka’ Winutame, am batuna Tumou – tou<br />Artinya : Tempurung di isi penuh dengan biji-bijian besar yang dapat bertumbuh.<br /><br /><br />SYAIR KE-TIGABELAS:<br /><br />Um Bantang – ku ayur wo Lembo, Limaya’ wo uma’lending<br />Artinya : Perahu rakit-ku hanyut dan timbul (dipermuka’an laut), dipermainkan (Ombak) dan bunyi berderak-derak<br />U Limingke-lingkey, endo wo wengi<br />Artinya :Dan bergoyang-goyang (kekiri, kekanan, kemuka, kebelakang), siang dan malam.<br />Ya naigom aku wo ika-tekel, zie’mo si genang-ku<br />Artinya :Dan aku mabuk-laut hingga tertidur, dan tidak sadar diri<br />Le’os Limengki’ um bantang, simangkil wurias<br />Artinya :Untunglah tertumbuk perahu rakit-ku, tersandung benda keras<br /><br /><br />SYAIR KE-EMPATBELAS :<br /><br />Tare Aku Mapolo, woan ma’we’ena’as ung genang-ku<br />Artinya : Barulah aku terbangun, kemudian ingatan kesadaranku kembali<br />Yah, tana’ rimagos witun saput kakan, nimamualimo un tana’ kenu<br />Artinya : Dan tanah yang terbungkus di (ketiak) kanan-ku yang terjatuh<br />telah berubah menjadi tanah (minahasa) ini<br />Ka’ uman um batuna I peresouw, timoumo wangun sombor<br />Artinya : Dan lagi biji-bijian untuk di hamburkan, telah tumbuh menghijau<br />Ya un atelu’ e minawalui-ye, tatamun-tuan<br />Artinya : dan Telur itu telah berubah menjadi binatang-binatang<br /><br /><br />SYAIR KE-LIMABELAS :<br /><br />Yah Wisamo dei mei-ayur, kita winaway minasungkul wia<br />Artinya : Kemanapun dia yang telah dihanyutkan ( kelaut ), kita (berdua saya dan<br />karema) telah bertemu di tempat ini.<br />Ni iamo Ka’pa un tinouw-Toouwan-ta in dua<br />Artinya : Sudah beginilah atua sudah inilah kehidupan kita berdua<br />Niaku eh ma’ayang, akaz I lumomei u mu’u unggio<br />Artinya : Saya (<span style="font-weight: bold;">Lumimu’ut</span>) akan bekerja, hingga (badanku) licin berkeringat sampai ke wajah-ku<br />Satoro Ka’uman, si menginalei Kalalawiz-ta in dua<br />Artinya : Tapi aku mintakan (pada Karema) kalau boleh, agar di doa’kanlah<br />kebahagia’an hidup untuk kita berdua.<br /><br /><br />SYAIR KE-ENAMBELAS :<br /><br />Laleyo un tou-touan nera, zei si kawenduan wo kalewo’an<br />Artinya :Telah lama mereka hidup, dengan tidak ada keluhan atau pederitaan<br />Si Karema si nime’an kura ung kawendu, sa zei’ si Tuama<br />Artinya : Karema memberikan pendapatnya bagaimana tidak bahagianya (seorang wanita) bila tidak ada lelaki<br />Ni Sia si Mahalez si kariana, si siga’ ka’uman ma’ lele-lele<br />Artinya : Dialah (Kaerma) yang menggerakkan temannya lumimu’ut karena (Karema) pandai membujuk agar kemaunnya di ikuti<br />Wo sera mondole witi rurag, wen miki rara’ate si Empung<br />Artinya : lalu mereka keluar dari lobang gua (tempat tinggalnya) untuk berdoa meminta pengasihan Tuhan<br /><br /><br />SYAIR KE-TUJUHBELAS :<br /><br />Si Kaerma tare tumo’tol, ma-endo Walian<br />Artinya : Karema lalu menyiapkan upacara agama, dan bertindak sebagai Pendeta.<br />Yah I rondorna si <span style="font-weight: bold;">Lumimu’ut</span>, sumaru timu’ – sendangan<br />Artinya : Lalu diaturnyalah agar Lumimu’ut, berdiri menghadap tenggara<br />Si Karema menginalei ung kalalawiz ni lumimu’ut<br />Artinya : Karema berdoa minta kebagaiaan Lumimu’ut, tapi tidak terjadi apa-apa.<br />Si Lumimu’ut si zei’ si- torona, to walina’an u Rendaina<br />Artinya : <span style="font-weight: bold;">Lumimu’ut</span> tidak mendapat apa-apa, karena itu cara berdirinya dirobah arah<br /><br /><br />SYAIR KE-DELAPANBELAS :<br /><br />A sia Sumaru un amian – sendangan<br />Artinya : Lalu dia dihadapkan ke arah timur laut<br />Si Karema menginalei, we’ane Kalalawiz si Lumimu’ut<br />Artinya :Karema lalu berdoa memintakan kebahagiaan untuk <span style="font-weight: bold;">Lumimu’ut</span><br />Ta’an zei si wua’na, wen si <span style="font-weight: bold;">Lumimu’ut</span> zei’ si ka’ara’an<br />Artinya : Tapi tidak juga dibuahi, karena Lumimu’ut tidak merasa sesuatu<br />Si Karema zei’ mento’, an enso’ana u rendai ni <span style="font-weight: bold;">Lumimu’ut</span><br />Artinya : Kareama tidak berhenti berusaha, pindah arah berdiri <span style="font-weight: bold;">Lumimu’ut</span><br /><br /><br />SYAIR KE-SEMBILANBELAS :<br /><br />Si Lumimu’ut sumarulah un Amian-talikuzan<br />Artinya : Dan <span style="font-weight: bold;">Lumimu’ut</span> lalu berdiri kearah barat-latu<br />Si Walian Menginalei kasi’I, ta’an zei’ si Torona<br />Artinya : Pendeta Karema lalu berdoa lagi, tapi tidak diberi apa-apa<br />Ma’an dei’ si Wua’ na, Ta’an zei’ mento’ sia mengimbali<br />Artinya :walau tidak di buahi, tapi Karema tidak berhenti meminta doa<br />dengan bersungguh-sungguh<br />Ni’itu Sia Sumaru-mo kasi’I sanaera, lumele si Karema<br />Artinya : karena itu dia menghadap lagi kearah yang lain, Karema membujuk (dalam doa-nya)<br /><br /><br />SYAIR KE-DUAPULUH :<br /><br />Yah mera, a sumaru si Empung ti timu-Talikuzan<br />Artinya : Dan berpindahlah menghadap Tuhan di arah barat laut<br />Yah un Awa’at timu-Talikuzan, minehe za’I si Lumimu’ut<br />Artinya : Dan angin dari barat laut memberikan kesenangan yang diminta <span style="font-weight: bold;">Lumimu’ut</span><br />Yah ne ilengkaz name, si utuk wangun<br />Artinya : Dan dilahrkanlah oleh lumimu’ut, anak bayi lelaki yang tampan<br />Nisia si lemekep ung katutu’a, wo ung Kalalawiz nera zua<br />Artinya : anak itulah yang melengkapi kebahagiaan kedua wanita itu sampai hari tuanya.<br /><br /><br />SYAIR KE-DUAPULUH SATU :<br /><br />An sia ngaran-neralah, un Toa’ar<br />Artinya : Lalu dia di namakanlah oleh mereka itu, dengan nama <span style="font-weight: bold;">to’ar</span><br />Si To’ar timou-me, Totoz sombor zima’e<br />Artinya : <span style="font-weight: bold;">To’ar</span> tumbuh jadi pemuda yang jadi idaman mereka<br />Matu’a me sia, yah zime’e ung kasiga wo ung ketezen<br />Artinya : Ketika <span style="font-weight: bold;">To’ar</span> dewasa, lalu menjadi cekatan rajin dengan badan yang kuat<br />Si To’ar si Kalaya’ wo kaleong ni Ina’na, wo ni Walian<br />Artinya : <span style="font-weight: bold;">To’ar</span> menjadi teman bercanda dan bersenda gurau oleh Ibunya dan<br />Pendeta Karema.<br /><br /><br />SYAIR KE-DUPULUH DUA :<br /><br />Apa in sana endo, line’os un teken dua ni Kaerma<br />Artinya : Lalu pada suatu hari, Karema membuat dua batang tongkat<br />Un Teken Esa wen Asa, ta’an un esa wen tu’is Rarawiz<br />Artinya : tongkat yang satu dari Pohon Asa (kano-kano), tapi tongkat yang satu<br />lagi dari pohon “Tu’is” diberikan pada ibunya<br />Si Karema ni-mutum ni sera, wia si empung<br />Artinya : Karema lalu berdoa menyerahkan kedua mereka kepada tuhan<br /><br /><br />SYAIR KE-DUAPULUH TIGA :<br /><br />Karia u nuwu’ ketez, Kumua Sia wia ni sera<br />Artinya : Dengan suara nyaring, Karema berkata kepada mereka (berdua)<br />Nikamu yah Lumampang lumiklik, an Tana kenu<br />Artinya : Kamu berdua berjalan-lah mengelilingi tanah (<span style="font-weight: bold;">Minahasa</span>) ini<br />Niko <span style="font-weight: bold;">To’ar</span> yah Lumampang kumakan<br />Artinya : Dan Engkau <span style="font-weight: bold;">To’ar</span>, berjalanlah kearah kanan<br />Niko Lumimu’ut Lumampang Kumawi’i<br />Artinya : Serta engkau Lumimu’ut berjalan ke-arah kiri<br /><br /><br />SYAIR KE-DUAPULUH EMPAT :<br /><br />Sa kamu masungkul, yah pa’ toro-nange an teken nio<br />Artinya : Kalau sampai nanti saling bertemu, bandingkanlah (tinggi) tongkatmu (berdua)<br />Kura u mamualina, an teken nio san<br />Artinya : Apa yang akan terjadi dan apa maknanya dari kedua tongkatmu nantinya<br />Itu pa’aline, mei-asar niaku<br />Artinya : Bawalah tongkatmu itu kepadaku, agar aku ceritakan apa maknanya<br />Wo itu I kuaku u lekepan, um pa’ar ni Empung<br />Artinya : Agar aku katakan apa yang harus di perbuat, sesuai kehendak Tuhan<br /><br /><br />SYAIR KE-DUAPULUH LIMA :<br /><br />A Ma’wuat si Ina’, wo si Oki’na<br />Artinya : Dan berpisahlah si ibu, dengan anaknya<br />Zei’ ure sera masungkul, waki Tingkolongan<br />Artinya : Tidak lama berlalu mereka kemudian bertemu di Tingkolongan<br />Yah Pa’a Toronera, an teken wituma<br />Artinya : Dan disanalah mereka membadingkan tongkat mereka apakah sama tinggi<br />Yah weta’ un tu’is u lambot ta’an un asa<br />Artinya : Aduhai ternyata tongkat batang pohon “tu’is” lebih panjang dari tongkat<br />pohon “asa” (kano-kano)<br /><br /><br />SYAIR KE-DUAPULUH ENAM :<br /><br />An sera Zua mawurime, wia si Karema<br />Artinya : Lalu mereka berdua kembalilah, kepada Karema<br />Wen me ma’asar, in na’ singkela mo an teken<br />Artinya : Untuk menceriterakan (pada Karema) bahwa tongkat mereka tidak sama tinggi lagi<br />Kawuslah un asar nera, numuwu’ si Karema<br />Artinya : Untuk melengkapi ceritera mereka, <span dragover="true" style="font-weight: bold;">To’ar dan Lumimu’ut</span>, lalu Karema berkata<br />Karia u ngaran ni Wa’ilan, yah nima zei’ mo u ma’ ina’ an nio<br />Artinya : Dengan nama “Yang Maha Mulia” (Tuhan), kamu (berdua) tidak lagi sebagai ibu dan anak<br /><br /><br />SYAIR KE-DUAPULUH TUJUH :<br /><br />Akaz I nania wo mange, ya Tou sana awu-mo kamu<br />Artinya : Mulai sekarang dan seterusnya, kamu berdua sudah menjadi Suami – Istri<br />Tumouma malawi-lawiz, witu un rara’atean ni Empung<br />Artinya :Hiduplah dengan penuh berkat, di dalam pengasihan Tuhan<br />Niaku Toumou kario mio, wen aku yah, Karema wo walian<br />Artinya : Saya akan hidup bersamamu, karena saya adalah Karema sebagai Pendeta<br />Wo zei’lewo’enta, ung ka’ara’anta<br />Artinya : Dan jangan kita putuskan perasaan kita satu sama lain.<br /><br /><br />SYAIR KE-DUAPULUH DELAPAN :<br /><br />Yah nisera Sana’awu, se minaka suzu-me<br />Artinya : Dan mereka suami istri (<span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit; font-weight: bold;">Toar </span><span style="font-weight: bold;">dan Lumimu’ut</span>) berketurunan<br />Se Makazua Siouw, se Oki’<br />Artinya : Makarua Siouw (2 x 9) adalah anak-anaknya<br />Se Makatelu Pitu, se puyun<br />Artinya : Makatelu Pitu (3 x 7) adalah cucu-cucu<br />Karia ne telu pa’siouwan, kinasuzuan puyun-impuyun<br />Dan dengan tiga wanita “Pasiowan” menurunkan buyut-buyut, cece-cece<br /><br /><br />-----------------------<br /><br />PENJELASAN MENGENAI MITOS <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit; font-weight: bold;">TOAR </span><span style="font-weight: bold;">– LUMIMU’UT</span> :<br />Hanya satu orang penulis bangsa barat yang menganalisa Mitos <span style="font-weight: bold;">Minahasa TOAR-LUMIMUUT</span> secara ilmiah yakni J.Alb.T.Schwarz melalui bukunya “ Tontemboansche Teksten “ terbitan thn.1907 . Penulis J.Albt.T.Schwarz berkesimpulan bahwa mitos <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit; font-weight: bold;">TOAR </span>dan <span style="font-weight: bold;">LUMIMUUT Minahasa</span> sebenarnya ingin menggambarkan ilmu Astrologi pengetahuan bumi dan jagat raya Matahari, bulan , Bintang-bintang yang selalu sangat menarik bagi umat manusia jaman purba. Bahwa ceritera <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit;"><span style="font-weight: bold;">TOAR</span> </span>berjalan kekanan dan <span style="font-weight: bold;">LUMIMUUT</span> berjalan kekiri yang membuat mereka berpisah kearah yang berlawanan, sebenarnya ingin menggambarkan rotasi perjalanan Matahari. Matahari terbit di timur nampak Matahari menjauhi bumi naik keatas langit dan kemudian pada sore hari Matahari terbenam di barat mendekati atau bertemu lagi dengan Bumi. Pada ceritera Mitos di kisahkan bahwa <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit;"><span style="font-weight: bold;">TOAR</span> </span>dan <span style="font-weight: bold;">LUMIMUUT</span> berpisah dengan berjalan ke-arah yang berlawanan kemudian disuatu tempat yang bernama T I n g k o l o n g a n mereka berdua bertemu lagi untuk menyamakan kedua tongkat mereka apakah sama tinggi. Karena tidak sama tinggi itu menjadi penyebab status <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit;"><span style="font-weight: bold;">TOAR</span> </span>yang tadinya ANAK lalu kelak berubah jadi SUAMI.<br /><br />Ketika Matahari terbit nampak <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit;"><span style="font-weight: bold;">TOAR</span> </span>( Dewa Matahari) keluar dari perut bumi ( dewi bumi Lumimuut) gejala alam ini menempatkan <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit;"><span style="font-weight: bold;">TOAR</span> </span>ber-status ANAK. Pada sore hari Matahari ( Dewa Matahari Toar) terbenam dan nampak masuk kedalam perut Bumi ( dewi Bumi <span style="font-weight: bold;">LUMIMUUT</span>) hingga nampak seperti berhubungan badan atau bersanggama berhubungan sex dengan bumi dan gejala alam ini menempatkan <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit;"><span style="font-weight: bold;">TOAR</span> </span>ber-status sebagai SUAMI . Dari penggambaran rotasi posisi matahari dan bumi inilah lahir ceritera mitos IBU kawin dengan ANAK ketika Bumi mendapat personifikasi manusia menjadi “Dewi Bumi” <span style="font-weight: bold;">LUMIMU^UT</span> asal kata LU^UT yang artinya berkeringat karena bumi pada pagi hari selalu ber-embun yang di anggap keringat bumi, Matahari mendapat Personifikasi <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit;"><span style="font-weight: bold;">TOAR</span> </span>yang artinya akan kita dapatkan pada Mitos <span style="font-weight: bold;">TOAR-LUMIMUUT</span> lainnya dalam bentuk nyanyian “ Mangorai”.<br /><br />Analisa J. Albt. T. Schwarz mengenai istilah "Si Apok Ni Mema' Untana' (bahasa Tontemboan) artinya : Leluhur ( <span style="font-weight: bold;">Lumimu'ut</span>) yang membuat tanah (Bumi) agar dapat didiami dan tempat anak-cucunya hidup, dan bukan berarti bahwa <span style="font-weight: bold;">Lumimu'ut</span> - lah pencipta bumi.<br /><br />Sistim penelitian J.Albt.T.Schwarz tentu dapat kita lanjutkan dengan meneliti setiap syair dalam nyanyian ini , misalnya penjelasan bahwa ibu <span style="font-weight: bold;">LUMIMUUT</span> bernama WENGI dan ayahnya bernama KAWENGIAN. Dalam bahasa Minahasa (Tombulu) WENGI artinya malam dan apabila dimaksutkan sebagai personifikasi benda malam, maka maksutnya mungkin B u l a n , dan arti KAWENGIAN adalah benda siang yang kemalaman yang mungin ingin menggambarkan Matahari yang masih nampak sinarnya walaupun hari sudah termasuk malam. Sebagai tanda hari sudah malam adalah hewan peliharaan seperti ayam sudah naik kepohon untuk tidur, atau sudah ada Serangga malam yang berbunyi seperti “Kongkoriang” tapi sinar matahari masih nampak me-merah di kaki langit sebelah barat. Berarti yang di maksutkan dengan “kemalaman” (Kawengian) adalah Matahari , jadi ayah <span style="font-weight: bold;">LUMIMUUT</span> adalah MATAHARI dan ibunya adalah BULAN. Nyanyian Karema yang dinyanyikan pada upacara “Rumages” ini, masih banyak mengandung simbolisasi-simbolisasi yang masih dapat kita gali untuk membuka rahasia jalan pikiran dan konsep hidup orang Minahasa purba yang sejak jaman <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit; font-weight: bold;">TOAR </span><span style="font-weight: bold;">–LUMIMUUT</span> telah mengenal satu konsep YANG MAHA MULIA MAHA BESAR yang bukan leluhur. Manusia pertama Minahasa sendiri KAREMA dan <span style="font-weight: bold;">LUMIMUUT</span> tidak berdoa pada OPOK LELUHUR sebelum mereka tapi mereka berdua diceriterakan keluar dari dalam lobang gua tempat tinggalnya untuk berdoa “Minta dikasihani Empung” atau Minta dikasihani TUHAN. Opok-Opok atau dewa-dewi Minahasa adalah leluhur orang <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span> sendiri yang pernah hidup diMinahasa jaman tempo dulu seperti MUNTU-UNTU,LINGKANWENE,SIOUWKURUR , dan leluhur pertama Minahasa<span style="font-weight: bold;"> TOAR,LUMIMUUT</span> dan KAREMA. Pada jaman masa hidup <span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit;">TOAR </span>dan <span style="font-weight: bold;">LUMIMUUT</span> siapa yang menjadi OPOK mereka ???????? Karena dalam mitos <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span> semua manusia mati tenggelam oleh banjir besar dan hanya KAREMA dan LUMIMUUT yang Tersisa dimuka bumi <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span>, TUHAN orang <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span> disebut EMPUNG WAILAN WANGKO ( Maha berada maha besar).<br /><br />Ceritera rakyat <span style="font-weight: bold;">Minahasa</span><br />Oleh: Jessy Wenas<br /><br /><span id="__firefox-findbar-search-id" style="padding: 0pt; background-color: yellow; color: black; display: inline; font-size: inherit; font-weight: bold;">Toar </span><span style="font-weight: bold;">- Lumimu'ut</span> versi Mithology pada upacara "Mangorai" berjumlah tigapuluh tujuh (37) syair diambil dari buku karangan H.M. Taulu tahun 1977, tapi sumber data tidak ditulis oleh H.M. Taulu. (hanya diambil dua syair pertama dan syair ke duapuluh empat yang menjelaskan arti kata Toar).<br /><br /><br />SYAIR PERTAMA :<br /><br />Maka Tu'tul lako si Lumimu'ut<br />Artinya : Setelah selesai semuanya<br />Sia tumula'uh mo si ina' wo si ama'na<br />Artinya : maka Lumimu'ut meninggalkan ayah dan ibunya.<br /><br /><br />Syair Kedua :<br /><br />Sia menek wana esa londei ma' ali-ali un tana' sana pongo<br />Artinya : Dia naik ke sebuah perahu membawa tanah segenggam<br /><br /><br />Syair keduapuluh empat :<br /><br />Si Loway ni' itu ngaranan ni Karema to'ar<br />Artinya : Anak itu dinamakan oleh Karema, Toar<br />Pinotot an tou ari'i, si tou tatamber ni ari'i<br />Artinya : Singkatan dari Tou ari'i sebagai pemberian dari ari'i.<br /><br />-------------------<br /><br />Analisa Dari Syair Nyanyian "Mangorai"<br /><br />Analisa dari syair nyanyian "Mangorai" mengenai Toar-Lumimu'ut ini lebih sederhana<br />dari syair yang sebelumnya, tapi dari syair keduapuluh empat ini nampak jelas arti kata<br />Toar. yang merupakan singkatan dari dua kata : "tou" artinya, "orang" dan "ari'i"<br />artinya, "tiang batu, tiang utama rumah, tiang matahari, atau anak dewa matahari"<br /><br />Banyak budayawan Minahasa yang mencari - cari arti sebenarnya dari kata Toar, dan<br />dari nyanyian inilah kita mendapatkan arti yang sebenarnya dari nama "Toar".

MINAHASA Cerita Rakyat Minahasa Toar dan Lumimu'ut

Kita banyak mendengar ceritera rakyat Minahasa TOAR-LUMIMUUT tapi kita kadang tidak mengetahui asal mula ceritera itu dan bagaimana orang M...

Read more

Arti Kawanua

Dalam bahasa Minahasa KAWANUA sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau “Mina-Esa” (Orang Minahasa). Kata KAWANUA talah diyakini berasal dari kata WANUA. Karena kata WANUA dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa Melayu tua telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka pengertian kata WANUA juga mengalami perkembangan. Tadinya kata WANUA diartikan sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa, negeri bahkan dapat diartikan sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata WANUA diartikan sebagai negeri atau desa.<br /><br />Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah WANUA – yang diartikan sebagai tempat pemukiman – sudah digunakan sejak orang Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman di pegunungan Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok Taranak, masing-masing 1). Makarua Siouw, 2). Makatelu Pitu, 3). Telu Pasiowan.<br /><br />Karena sistem Taranak melahirkan bentuk penerintahan turun-temurun, maka pada abad ke – 17 terjadisuatu persengketaaan antara ketiga taranak tersebut. Persengketaan terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan dengan “Makarua Siouw, sehingga leluhur MUNTU-UNTU dan MANDEY dari “Makatelu Pitu” muncul sebagai kelompok Taranak yang terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh WANUA – yang waktu itu terdiri dari 1). Tountumaratas, 2). Tountewu, 3). Toumbuluk<br /><br />Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah PAKASA’AN yang beraasal dari kata ESA. PAKASAA’AN berarti satu yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumoo’ong dan Sonder.<br /><br />Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok yakni Tounsea dan Toundano. Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Tondano terbelah lagi menjadi dua yakni (1) Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan (2) Masyarakat “Toundanau” yang bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu. Masyarakat di sekitar danau Tondano membentuk tiga walak yakni; Tondano Touliang, Tondano Toulimambot dan Kakas-Remboken. Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan Pakasa’an Tondano.<br /><br />Pakasa’an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni maumbi, kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau “Hukum Mayor”, wilayah maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-mayor.<br /><br />Masyarakat tombuluk sejak jaman Batu Pinawetengan abad ke – 7 tetap utuh satu Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah WANUA berkembang menjadi dua pengertian yaitu : (1). Ro’ong atau negeri, (2) Pengertian sempit, artinya NEGERI yang sama denga Ro’ong (desa atau kampung).<br /><br />Jadi, kata WANUA, memiliki dua unsur yaitu (1). Ro’ong atau negeri (2)Taranak atau penduduk. Ro’ong itu sendiri memiliki unsur (a) WALE, artinya rumah dan (b) TANA. Kata TANA dalam bahasa Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan Uma (kebun atau Kobong). Kobong terbagi menjadi dua yaitu : “kobong kering” dan “kobong pece” (sawah). Kalau kita amati penggunaan kata WANUA dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang bertempat tiggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan. Si A bertanya pada si B; “Mange Wisa” (mau kemana ?) Kemudian B menjawab : “mange witi uma”: (pergi ke kobong), si B balik bertanya pada si A; “Niko Mange wisa” (kamu hendak kemana ?) si A menjawab; “Mange witi Wanua” (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk). Contoh lain adalah kata “Mina – Wanua”. Kata “ Mina” artinya, pernah ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata “Mina Amak “ (Amak = Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.<br /><br />Kata WANUA yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada kalimat “Rondoren um Wanua…..” kata WANUA dalam kalimat ini artinya ; Negeri – negeri di Minahasa dan tidak berarti hanya satu negeri saja. Maksudnya…..melakukan pembangunan di seluruh Minahasa. Jadi sudah termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan pakasa’an yang didiami seluruh etnis atau sub-etnis Minahasa.<br /><br />Jadi dapat dilihat bahwa pengetian utama dari kata WANUA lebih megarah pada pengertian sebagai wilayah adat dari Pakasa’an (kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok masyarakat yang mengaku turunan leluhur TOAR & LUMIMU’UT. Turunan dalam arti luas termasuk melalui perkawinan dengan orang luar, Spanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, jawa, Sumatera dan sebagainya. Orang Minahasa boleh mendirikan WANUA diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaaan meletakkan “Watu I Pe-ro’ong” atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh tonaas khusus misalnya bergelar MAMANUA (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu denga walak yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.<br /><br />Setelah meneliti arti kata WANUA dari berbagai segi, kita teliti arti awalah KA pada kata KAWANUA. Beberapa awala pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah,artinya teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik), teman berbaik-baikan (kekkasih). Kemudian kata Ka-Leong (leong=bermain) teman bermain.<br /><br />Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi bahwa awalah KA memberi arti teman, jadi, KA-WANUA dapat diartikan sebagai TEMAN SATU NEGERI, SATU RO’ONG, satu kampung. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu “Marambak” (naik rumah baru)…”Watu tinuliran umbale Mal’lesok ungkoro’ ne Kawanua…” artinya batu tempat mendirikan tiang rumah baru, bersmbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu negeri. Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau walak lain misalnya Tondano dan Tonsea.<br /><br />Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan “sisi’sile ne tou Mahasa” (buku A.L Waworuntu) dan a’ASAREN NE TOU Manhesa” artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak ditulis “A’asaren ne Kawanua” atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa<span style="font-weight: bold;"> </span>di Minahasa menamakan dirinya “Orang Minahasa” dan bukan “Orang Kawanua” selanjutnya baru diterangkan asal sub – etnisnya seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah KAWANUA dilahirkan oleh masyarakat orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu berasal dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang Minahasa, misalnya di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.<br /><br />Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa menggunakan istilah KAWANUA untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun sudah kawin – mawin antara suku, masih merasa dekat dengan WANUA lalu melahirkan JAWANUA, BATAKNUA, SUNDANUA, dan lain sebagainya.

MINAHASA Arti Kawanua

Dalam bahasa Minahasa KAWANUA sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau “Mina-Esa” (Orang Minahasa). Kata...

Read more